CERPEN – Desa Sendangagung Paciran Lamongan https://sendangagung-lamongan.desa.id Sendangagung Rapakat Thu, 22 Mar 2018 01:39:02 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=4.8.6 https://sendangagung-lamongan.desa.id/wp-content/uploads/2016/02/SENDANGAGUNG-3D-1-150x150.jpg CERPEN – Desa Sendangagung Paciran Lamongan https://sendangagung-lamongan.desa.id 32 32 KETIKA TONO BERJUMPA HANTU https://sendangagung-lamongan.desa.id/2018/01/04/ketika-tono-berjumpa-hantu/ https://sendangagung-lamongan.desa.id/2018/01/04/ketika-tono-berjumpa-hantu/#respond Thu, 04 Jan 2018 02:08:45 +0000 https://sendangagung-lamongan.desa.id/?p=1850

                                                ilustrasi hantu

Oleh : Syafi’ul Mubarok

Aku melihat Tono pucat pasi di kala istirahat. Dan ini bukan yang pertama kali. Cukup mudah bagiku melihatnya. Karena masa istirahat adalah masa dimana seluruh teman – temanku tersenyum. Hanya Tono saja yang memiliki raut berbeda. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Padahal ia bukan tipikal orang yang tertutup. Hanya ketika istirahat saja ia seperti itu.

Sani teman sekelasku juga penasaran apa penyebab wajahnya menjadi demikian kusut. Anehnya ketika guru Matematika kami memberi pekerjaan rumah 3 lembar, ia satu – satunya orang yang tidak protes. Jangan mengira dia adalah murid kesayangan guru. Ridwan sang bintang kelas pun protes mengenai pekerjaan rumah yang semena – mena tersebut. Rasa penasaran itu benar – benar membuatku lapar, ditambah kelas Matematika yang memusingkan.

Aku pun mengajak Sani ke sekedar untuk melepas penat dan mengisi perut yang telah lama keroncongan. “Rumus yang dikasih guru kita membuatku mual”, ungkap Sani di tengah perjalanan ke kantin. “Tapi aku lebih penasaran dengan Tono”, aku terus melihat ke sekeliling siapa tahu ada Tono lewat atau ada kejadian yang menjelaskan sebab musabab Tono. Sembari mendengar Sani mengoceh, aku terus memperhatikan sekitar. Namun ia belum juga muncul.

“Menurutmu, Tono kenapa ya kira – kira ?”, aku berhasil memancing penasaran Sani untuk memikirkannya juga. “Laper ah”, aku langsung menyantap makanan yang ada di depan meja. Sementara Sani masih memainkan kuah bakso dengan alasan masih panas. Bagiku, makanan panas atau dingin adalah sebuah pilihan. Namun, lapar tidak bisa memilih mana panas dan dingin. Apalagi ditambah stres ganda gara – gara Tono dan Matematika.

Waktu istirahat berjalan sangat cepat. Ketika kawan – kawan kami di meja lain bercanda sembari menikmati waktu idaman para siswa, kami malah berdiam diri sembari semakin frustasi memikirkan Tono. Hingga bel masuk pun berbunyi. Aku memandang Sani yang masih dipenuhi dengan tanda tanya sembari memainkan peralatan makan. “Ayo”, aku menariknya untuk segera masuk kelas. Karena selepas ini adalah guru killer yang tak segan menghukum siswa yang terlambat masuk kelasnya.

Di tengah persimpangan, aku melihat seorang yang dari tadi aku cari. Aku pun menarik dengan keras tangan Sani yang berlari di depanku hingga ia terjungkal. “Apa”, teriaknya marah. Jari telunjukku langsung kuarahkan ke Tono yang berada di ujung lorong. “Ayo”, ajakku. “Kamu gila ?, jam guru killer bro”. Lebih baik penasaran terobati dari pada terkurung di jam killer. Aku memberi isyarat kepadanya untuk membuntuti Tono di belakangnya.

Lorong sekolah kami tergolong simpel. Tidak ada ornamen atau  pun hiasan yang dibanggakan. Langit – langitnya mungkin sudah bosan melihat anak sekolahan bertumbuh kembang di bawahnya. Dan apabila tuhan memberi tembok mulut, mungkin mereka akan mencaci maki murid yang sengaja menggambarinya. Sudah berkali – kali staff sekolahan melakukan pengecatan tembok tersebut, namun tangan – tangan jahil tetap meraba tembok yang selalu menderita.

“Kayaknya dia ke belakang sekolah”, Sani memicingkan mata ke kejauhan. Langkah jalan kami langsung berubah menjadi pelarian ketika Tono berlari meninggalkan kami. Mungkin ia sadar ada 2 manusia kepo yang membuntutinya, sekedar melihat rahasia besarnya. Benar saja, ia menghilang dibalik gang kelas menuju belakang sekolah.

Jangan membayangkan kondisi belakang sekolah kami ada lapangan yang luas, ditambah ada banyak pohon. Dan tak lupa banyak canda tawa terjadi disana kala upacara atau jam olahraga. Karena belakang sekolah kami hanyalah lorong gelap yang dibatasi oleh tembok tinggi. Batas dengan tanah milik penduduk. Entah karena aku terlalu lama menghayal atau memang telat, aku sudah melihat Tono terkapar tak sadarkan diri di lorong itu.

Lorong yang penuh sarang laba – laba ditambah kayu – kayu sisa pembangunan yang berserakan. Aku seolah masuk ke alam yang baru sementara Sani teringat dengan novel horor miliknya. Sempat teringat cerita – cerita konyol tak masuk akal tentang keganjilan lorong ini. Peduli amat. Gumamku mencoba menguatkan kaki – kaki yang bergetar. Sempat saling dorong antara aku dan Sani siapa yang akan menolong Tono. Berkat hukum gender, aku pun harus mengalah dan mendekati Tono. Namun, selagi aku mendekati Tonoi ia harus menyusun beragam alasan agar kita tidak berakhir konyol di ruang guru killer.

Aku langsung menggendong Tono meninggalkan lorong itu. Sempat terdengar suara – suara di kiri kanan. Aku pun berharap earphone melekat di telingaku agar tidak perlu mendengar omongan orang lain yang cenderung menjatuhkan dan menyesatkan. “Sudah punya ?”, ucapku sembari berjalan di samping Sani. Belum. Aku mengharapkan kekuatan gendernya berhasil mengumpulkan banyak alasan untuk melindungi kami bertiga. Tentunya dari keganjilan guru killer yang aku membayangkan sekarang tengah mencari 3 muridnya yang hilang di kelasnya.

Sesampainya di kelas, Tono langsung tersadar ketika balsam di oleskan di wajahnya. Ide ini milik Ridwan, anak terpandai di kelas kami. Kami pun beruntung guru killer tidak masuk hanya meninggalkan selembar tugas. Seperti sebuah kebiasaan, semua dibebankan ke Ridwan baik pemecahan lengkap dengan jawaban. Kami laksana mesin foto copy berjalan yang menunggu segala jawaban Ridwan. Satu kata yang langsung keluar dari mulut Tono, aku melihat hantu. Sontak seluruh kelas menjadi bergemuruh.

Gimana wajahnya ?, apa hantu itu ilmiah ?, ada tanda – tandanya nggak ?, beragam pertanyaan mulai menyerang Tono yang merasakan pedih di mata. Bukan karena tidak bisa menjawab pertanyaan, melainkan olesan balsam di pelupuk matanya terlalu banyak. Di kelas kami, hanya beberapa saja yang percaya hal – hal mistis. Sisanya selalu mengedepankan logika. Terutama Ridwan. “Ton, gimana bentuknya ?”, tidak berbentuk. “Ah masa, kata kakekku menyerupai manusia, bohong ya kamu”, kata teman di ujung ruangan. “Apa hantu memiliki bau atau aroma ?”, satu lagi pertanyaan konyol yang memaksa otak kami berpikir. “Ada baunya seperti jengkol”, ucap Tono singkat.

Mungkin ia baru saja makan jengkol atau bisa jadi hantu itu adalah hantu penunggu pohon jengkol. Salah seorang temanku membuat kesimpulan konyol. Mana ada pohon jengkol di belakang sekolah. Aku mencoba menyangkalnya. “Apa hantunya cantik ?”, pertanyaan lain yang membuat diskusi kali ini semakin menarik. Sebelum Tono menjawab aku langsung berkata, “Iya cantik banget kaya bintang film, baiknya lagi langsung saja lihat di lorong belakang sekolah”.

Begitulah kegeraman yang merasuki. Bagaimana bisa, seorang yang baru saja terkena musibah malah mendapatkan pertanyaan – pertanyaan konyol seputar eksistensi hantu. Dan aku yakin pasti sebagian temanku sudah menyalakan statusnya tentang hantu. Mungkin aku akan memukul temanku yang justru selfie di depan Tono yang masih belum tersadar sebelumnya. Beruntung tidak ada korban keganasan pukulanku. Aku pun semakin tidak peduli ketika banyak dari temanku yang berbondong – bondong ke belakang sekolah.

Sudah barang tentu mereka penasaran dengan apa yang tengah dialami Tono. Sementara teman lelakiku banyak membawa buku catatan. Dengan niatan untuk meminta tanda tangan dari artis yang akan ditemuinya. Mereka berharap hantu Michael Jackson akan muncul di lorong kumuh sekolah kami. Beberapa menit kemudian, aku mendengar kabar bahwa terjadi pingsan berjama’ah di belakang sana. Aku pun tidak peduli, cukup duduk sembari menyeruput es teh entah milik siapa. “Pasti mereka semua bau jengkol”, umpatku dalam hati.

]]>
https://sendangagung-lamongan.desa.id/2018/01/04/ketika-tono-berjumpa-hantu/feed/ 0
BUNG TONO DAN SANDALNYA https://sendangagung-lamongan.desa.id/2017/01/11/bung-tono-dan-sandalnya/ https://sendangagung-lamongan.desa.id/2017/01/11/bung-tono-dan-sandalnya/#respond Wed, 11 Jan 2017 04:43:02 +0000 https://sendangagung-lamongan.desa.id/?p=1569 img-20160814-wa0000Syafi’ul Mubarok
(Dimuat di Radar Bojonegoro, 07 Agustus 2016)

Usianya kira – kira sekitar 45 tahun an, namun semangat untuk menempuh kehidupan tidak usah dibayangkan. Namanya Sutono, namun penduduk sekitar lebih memilih untuk memanggilnya Tono saja. Namun ada pula komunitas tertentu yang memangilnya bung Tono. Entah mengapa aku pun tidak sepenuhnya mengerti. Yang pasti, itu diakibatkan oleh kebiasaannya ikut nimbrung pertandingan bola.

Mungkin karena sudah kebiasaan, ia tidak pernah absen ketika ada nonton bareng di warungnya mang Komar. Bila di stasiun TV punya komentator yang lihai berbicara, maka kampung kami pun punya juru komentator yang lebih dahsyat bicaranya. Cukup diberi segelas kopi dan sepiring kacang, bung Tono akan mengoceh berjam – jam entah mengenai sepak bola di negeri ini, hingga merembet ke isu politik yang tak jelas teorinya.

Anehnya, pengunjung warung justru tertarik dengan ocehan bung Tono. Mang Komar bilang, omset warung miliknya meningkat pesat semenjak bung Tono menggelar karpet bicara di gubuk sederhananya. Apalagi ketika ada even bola di TV, para warga berduyun – duyun menuju warung sempitnya. Padahal TV milik mang Komar hanyalah sebatas TV tabung hitam putih peninggalan zaman orde baru.

Walaupun nantinya siaran yang diterima kabur, para penonton tidak peduli. Karena mereka lebih tertarik dengan ocehan bung Tono. Bahkan ketika pertandingan sudah berlangsung, komentar bung Tono lebih didengar oleh para warga dari pada suara komentator TV yang mana menyerupai gesekan alumunium ketika keluar dari TV nya mang Komar.

Mungkin karena itulah satu kampung kompak memanggilnya dengan gelar Bung. Hal tersebut berhubungan dengan komentator – komentator bola di TV yang biasa dipanggil dengan sebutan Bung. Tidak hanya di warungnya mang Komar, bung Tono juga menggelar karpet bicaranya di lapangan bola betulan.

Terakhir kali ia berbicara di lapangan adalah ketika even tarkam agustusan. Penonton berjubel untuk mendengarkan ocehan bung Tono. Imbasnya, panitia penyelenggara kebanjiran orderan tiket yang melebihi kapasitas. Padahal hanya sebatas lapangan pinggir kampung tanpa ada tribunnya.

Daya tarik bung Tono memang benar – benar tidak ada duanya. Walaupun para pemain bola tarkam berhasil  mencetak gol dengan sangat indah, belum tentu seluruh penonton bergemuruh. Kecuali jika bung Tono menjadi sang komentator. Pernah suatu ketika bung Tono sakit flu dan tidak hadir, akhirnya atmosfer pertandingan pun sangat sunyi layaknya pantai utara di kala malam.

Kondisi terbaru dari bung Tono, bahwasanya ia tengah ditempel oleh beberapa perusahaan judi bola sebelum digelarnya even piala eropa dan copa amerika di TV. Jangan ditebak bila bung Tono akan menjadi bagian marketing untuk mempopulerkan judi bola. Ada keahlian lain yang dimiliki oleh bung Tono yaitu menebak skor sepak bola.

“Ah masa”, kerumunan itu berbicara serempak ketika mendengar cerita dari mang Komar mengenai keahlian bung Tono yang satu ini. Berkali – kali mang Komar meyakinkan pelanggannya, berkali – kali pula ia mendapat hujatan. Akhirnya bung Tono pun ditantang satu kampung untuk membuktikan keahliannya.

Seperti biasa, bung Tono datang lebih lambat dibandingkan pendengar – pendengar setianya. Dengan berpakaian ala kadarnya, ia berjalan pelan beralaskan sandal jepit tahun 70 an. Ketika sampai di warung mang Komar, pendengarnya berlipat ganda. Ada yang sekedar ingin mendengarkan ocehannya, namun ada juga yang membuktikan kemampuan tersembunyi bung Tono.

“Bung, berapa skor akhir pertandingan nanti ?”, tanya mang Komar pelan sembari menyodorkan segelas kopi dan sepiring kacang. Sejenak ia memejamkan mata sembari mengucap, “3-0 untuk Leicester City, Mahrez 2 gol di menit 36 dan 49, di tutup Vardy di menit 78”. Seluruh pengunjung warung mang Komar pun tertegun sejenak kemudian serempak mereka tertawa terbahak – bahak.

Banyak yang tidak percaya, bagaimana bisa tim sebesar Chelsea dikalahkan sama tim promosi. Namun, seiring menit pertandingan yang terus berjalan tawa tersebut berganti menjadi kebengongan dan kebisuan. Prediksi dari bung Tono seratus persen akurat. Hal ini pun membuat agen perusahaan judi bola yang menawari bung Tono tempo hari kembali melakukan pendekatan.

Seusia pertandingan, seisi warung mang Komar pun penasaran bagaimana bung Tono bisa mendapatkan keahlian super langka tersebut. Seperti biasa ia pun mulai bercerita. Bermula dari kunjungannya ke kebun neneknya di senja mendung hingga akhirnya ia tersambar petir. Ia mengaku di otaknya penuh dengan visualisasi masa depan. Agak sinting ceritanya namun benar adanya.

Mengenai tawaran agen tadi, bung Tono langsung menerimanya padahal banyak agen serupa yang berakhir dengan senyum kecut. Mungkin penyebabnya adalah hadiah sepeda gunung yang dijanjikan agen tersebut setelah bung Tono bersedia hadir di kantornya. Menjadi rahasia umum di kampung bahwa ia adalah orang tua yang berkeinginan untuk bersepeda gunung dengan sandal pabrikan 70 an yang telah copot berkali – kali.

Pasti si agen berhasil menyumpal mulut orang – orang kampung yang memberitahu info langka tersebut. Benar – benar agen yang cerdik. Tidak hanya itu, ia pun diberi tuxedo lengkap dengan sepatu mengkilatnya secara cuma – cuma. Para pendengarnya di warung lengkap dengan mang Komarnya pun iri dengan hadiah gratis yang ia dapat.

Esoknya bung Tono langsung datang ke alamat yang telah diberikan oleh si agen. Bila dipandang sepintas, bung Tono sudah mirip orang – orang perusahaan. Hanya saja yang membuat kurang adalah alas kaki yang ia pakai. Bung Tono lebih memilih untuk mengenakan sandal bau tai kucingnya dari pada sepasang sepatu mengkilat.

Hal ini pun membuatnya tidak bisa masuk ke perusahaan sesuai dengan alamat yang diberikan. Pak satpam tetap menahannya di pintu gerbang walaupun bung Tono sudah menggelar karpet bicaranya di sana. Yang menjadi sebuah pertanyaan adalah bagaimana ia bisa mengoceh layaknya komentator bola walaupun tidak ada segelas kopi dan sepiring kacang dari mang Komar.

Barangkali pak satpam tidak mengerti bahwa bung Tono adalah tamu penting perusahaan itu. Itulah realitanya ketika kebanyakan manusia hanya memandang secara fisik belaka tanpa mendengar dan melihat kemampuan sebenarnya. Akhirnya ocehan bung Tono ditutup dengan pukulan yang bertajuk usiran hingga membuat benjolan muncul di bahu bung Tono. Sungguh malang.

Pendengar setia bung Tono yang kebetulan mangkal di warung begitu pula dengan mang Komar pun bingung mengenai apa yang tengah mereka pandang. Dengan memegangi bahunya yang benjol, bung Tono melangkah pelan menuju warung mang Komar. Tak ada pertanyaan hingga ia sampai.

“Kenapa bung ?”. “Di usir sama satpam”, ucapnya pelan. Beragam reaksi pun mengemuka di warung tersebut. “Lagian siapa suruh ke perusahaan pakai sandal”. “Butut lagi”, tambah mang Komar. Tawa renyah mengejek pun kembali hadir di warung tersebut. Kopi pesanan bung Tono pun hadir di depannya.

“Kenapa sih bung kok cinta banget sama sandalnya ?”. Hening sejenak sementara bung Tono menyeruput kopinya. “Kamu tahu, sepatu raja Fir’au yang berkilau emas permata kini berada di neraka sementara sandal jepit Bilal bin Rabbah terdengar di surga”. Seisi warung itu tak tahu, apakah itu adalah benar adanya atau sebatas karangan dari bung Tono setelah digebuk oleh satpam.

]]>
https://sendangagung-lamongan.desa.id/2017/01/11/bung-tono-dan-sandalnya/feed/ 0
HARAPAN ITU MASIH ADA https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/09/01/harapan-itu-masih-ada/ https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/09/01/harapan-itu-masih-ada/#respond Thu, 01 Sep 2016 02:41:43 +0000 https://sendangagung-lamongan.desa.id/?p=1460 Harapan itu Masih AdaOleh : Syafi’ul Mubarok

Suasana sore cerah menemaniku duduk santai di depan stadion nasional My Dinh, 3 km ke arah barat dari pusat kota Hanoi, Vietnam atau tepatnya di distrik Tu Liem. Aku sedang duduk dibawah pohon rindang di depan stadion itu guna menunggu laga piala AFF 2014 antara Indonesia dengan Filipina. Pertandingan tersebut merupakan pertandingan yang sangat penting bagi Indonesia dan harus bisa dimenangkan untuk menjaga asa lolos ke babak selanjutnya.

Stadion itu merupakan salah satu stadion kebanggaan masyarakat Vietnam. Dibangun pada tahun 2002, dengan kapasitas penonton mencapai 40.000 kursi, memiliki lapangan sepak bola dan lintasan atletik standar Internasional, maka sudah pantas jika stadion ini masuk kategori megah dan layak untuk pertandingan sepak bola berskala internasional.

Bayangan lampu depan stadion pun mulai memanjang, matahari terlihat lebih hangat dan loket depan stadion pun mulai dipenuhi oleh kerumunan orang. Mereka datang dengan pernak – pernik dominan warna biru, dan tak lupa kaos berwarna biru dengan tulisan Filipina di dada. “Wah pasti ini supporter dari Filipina”, gumamku dalam hati. Tak lama kemudian datanglah gerombolan orang dengan mengenakan baju berwarna merah dengan lambang garuda di dada dengan menyanyikan yel – yel supporter yang memecahkan keheningan sore itu di depan stadion, karena pertandingan masih akan dimulai 1 jam lagi.

Aku pun masih belum beranjak dari kursi dudukku sembari membaca Gulliver Travels karya Jonathan Swift, walaupun keadaan yang dulunya sunyi senyap sudah mulia ramai akibat berdatangannya para penonton yang akan melihat pertandingan ini. Hingga seseorang memecah konsentrasiku sembari duduk di sampingku. “Nggak masuk Mas?”, tanya orang tersebut dengan logat sunda. Aku pun langsung menoleh sembari melihat jam dan tersenyum kepadanya. “Nanti aja Mas, masih 20 menit lagi”, jawabku sambil menutup buku bacaanku. 10 menit berlalu aku habiskan untuk berkenalan dengannya, hingga bus berwarna biru yang mengangkut para pemain Filipina melintas di jalanan dan masuk ke stadion.

Namanya Ryan, dia adalah seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang merelakan studinya untuk beberapa hari dengan jauh – jauh datang dari Indonesia ke Hanoi untuk melihat pertandingan antara Filipina dengan Indonesia. Ketika di tanya alasan apa yang membuatnya begitu bersemangat, ia bertutur bahwasanya kita sebagai bangsa Indonesia sudah terlalu lama dahaga dengan gelar juara terutama di kawasan Asia Tenggara, sehingga harus ada support yang lebih kepada timnas agar terwujud mimpi tersebut.

“Selama di Vietnam tinggal di mana Mas?”, tanyanya kepadaku. “Saya tinggal di Apartemen teman saya di daerah Phu Do kira – kira 500 meter dari My Dinh”, jelasku. “Kalau Mas sendiri tinggal di mana?, tanyaku balik. “Oh, saya tinggal di rumah sepupu saya di daerah Mai Dich kira – kira 1 km dari sini”, jelasnya sembari melihat keadaan sekitar. “Lumayan jauh ya”, tambahku. Dia pun hanya mengangguk setuju. “Sebaiknya kita segera masuk ke stadion mengingat 15 menit lagi pertandingan akan dimulai”, jelasnya. Kami pun segera menuju loket untuk membeli tiket yang keadaannya sudah tidak seramai tadi. Bus dari para pemain timnas Indonesia pun sudah masuk ke stadion ketika kami sedang menunggu antrian.

Setelah berkutat cukup lama di depan loket yang cat warnanya sudah mulai memudar dengan ditempeli beraneka pernak – pernik timnas Vietnam, kami pun melangkah menuju tribun barat yang terlihat cukup lengang, hanya terlihat beberapa polisi yang berjaga dengan santai. “Disiplin sekali ya, orang – orang di sini”, gumamnya kepadaku disela – sela perjalanan menaiki tangga. “Memangnya kenapa?”, tanyaku kepadanya. “Sepanjang mataku memandang, hanya terlihat siluet tembok berwarna putih bersih tanpa ada coretan di sana – sini, berbanding terbalik dengan kondisi mayoritas stadion – stadion di Indonesia”, jawabnya dengan nada menggerutu. Aku pun hanya mengangguk tanda setuju. Terlihat konstruksi dinding penyokong dari stadion itu sangatlah kuat, sekuat keyakinan teman perjalananku yang sangat yakin bahwa timnas Indonesia akan memetik kemenangan pada pertandingan kali ini.

Akhirnya kami pun sampai di dalam stadion. Warna merah darah menghiasi tribun barat tempat kami berpijak, di ujung utara berisik dengan yel – yel supporter dari tim Filipina yang tengah menyemangati pemain yang sedang melakukan pemanasan, serta beberapa pedagang asongan yang lalu lalang menjajakan barang dagangannya, menjadi sebuah salam sambutan bagi kami. Dengan bola mataku, aku melihat karpet hijau terbentang luas, berkilauan akibat sinar mentari sore yang menyusup diantara 2 celah di atas stadion My Dinh, serta barisan kursi yang berjejer rapi berwarnakan orange, khas bendera Vietnam. Tiba – tiba tarikan lengan dari temanku membuatku melangkah mengikutinya, menyusuri bagian tribun barat hingga sampai ke tempat duduk kami, berkumpul dengan supporter Indonesia yang tak henti – hentinya menyuarakan yel – yel kemenangan.

Suasana stadion yang semula ramai dan berisik berangsur – angsur mereda, mengingat kedua kesebelasan telah memasuki lapangan dengan didahului oleh wasit, bendera kuning fair play, serta bendera dari kedua negara. Timnas Garuda terlihat gagah dengan balutan jersey merah yang dinahkodai oleh kapten tim, Firman Utina. Sayup – sayup lagu Indonesia raya berkumandang khidmat di dalam stadion My Dinh, membuat hatiku sedikit bergetar. Tak berbeda jauh denganku, Ryan pun juga tenggelam dalam lautan keheningan hingga tak terasa air matanya menetes membasahi pipi. “Mungkin inilah rasa nasionalisme sebenarnya, bukan seperti para pejabat pemerintahan yang hanya mengaku cinta negeri namun malah membuat malu bumi pertiwi”, gumamku dalam hati.

Lagu kebangsaan dari kedua negara telah dikumandangkan, di ikuti dengan jabat tangan hangat dari kedua kesebelasan. Terlihat dari tempat dudukku, beberapa pemain timnas Indonesia sedang berdoa untuk mendapatkan hasil terbaik pada pertandingan kali ini di bawah langit cerah dengan gumpalan awan putih yang bergerak berdampingan di atas stadion My Dinh. Sembari menunggu pluit dari wasit, aku pun memandang ke sekeliling hingga mendapati Ryan berdoa sembari memejamkan mata dengan khusyu’ berharap Indonesia berhasil mengalahkan Filipina pada sore itu. Serta buku Gulliver Travel ku yang tergeletak sendirian, termenung bosan di bangku stadion disampingku, berharap jemariku kembali menyentuh, membuka, dan menjelajahi tiap lembar darinya.

Suara pluit wasit pun memecah suasana, tertanda pertandingan telah dimulai. Sorak sorai dari pendukung kedua kesebelasan menjadi suasana pembeda pada sore itu. Nyanyian “garuda di dadaku” tak henti – hentinya mengaum dari tribun barat tempatku berada, seakan tak mau kalah, supporter timnas Filipina pun berteriak – teriak memberi dukungan kepada para pemain Filipina yang terlihat kewalahan menghadapi gempuran bertubi – tubi dari timnas Garuda. Berkali – kali pula teman seperjalananku, Ryan terlonjak dari tempat duduknya ketika tendangan kapten tim Firman Utina hanya menghantam tiang gawang yang berwarna putih berkilau akibat cahaya matahari sore.

Pada menit ke 16, kami dari tribun barat tertegun melihat jala Indonesia dirobek oleh pemain Filipina lewat tendangan pinalti Philips Young Husband, seorang pemain yang tinggi dan berparas tampan bak artis korea. Skor pun berubah 1-0 untuk Filipina. Nampak kebosanan mulai menghinggapi tiap wajah dari tribun barat, termasuk di dalamnya aku yang juga mulai bosan dengan permainan timnas kala itu. Hingga jeda babak pertama, skor pun masih tetap untuk keunggulan Filipina. Raut sedikit kecewa pun terpampang jelas disetiap wajah pemain timnas ketika keluar lapangan. Terutama bagi Firman Utina yang melakukan pelanggaran sehingga berbuah pinalti.

Aku pun kembali menjamah buku ku yang telah kucampakkan sedari tadi. Sembari mendengarkan celotehan dari Ryan yang sangat yakin bahwasanya Garuda pasti akan terbang tinggi dan membalikkan keadaan di babak kedua, aku malah semakin tenggelam pada buku bacaanku dengan sesekali mengangguk sebagai tanda setuju atas pernyataan yang dilontarkan oleh Ryan. 10 menit berlalu, seakan ada suatu semangat baru yang hadir di tribun barat, kami pun berdiri memberikan tepukan tangan penyemangat bagi timnas garuda yang kembali memasuki lapangan.

Terlihat meyakinkan di awal babak kedua, aku pun menutup buku ku dan mengalihkan pandangan ke lapangan hijau. Suara – suara dukungan pun mengalir deras dari tempatku berada hingga menit ke 73. Namun yel – yel kemenangan seakan hilang dari tribun barat ketika jala Kurnia Mega kembali dirobek pemain Filipina 3 gol secara beruntun, sehingga membuat kedudukan 4-0 untuk Filipina. Cuaca seakan berubah dengan cepat, awan – awan kelabu pun berkumpul di atas stadion tertiup oleh angin musim hujan yang dingin, seakan itulah cerminan dari keadaan teman – temanku dari supporter Indonesia kala itu. Nampak raut kesedihan tergambar jelas dari setiap orang di tribun barat, terutama Ryan yang sudah tidak bisa menjaga air matanya untuk tidak menetes membasahi pipi. Aku pun mendekatinya dengan ditemani angin musim hujan yang menerpa wajahku sejuk. Aku duduk disampingnya, kemudian mencoba menenangkannya. “Masih ada 15 menit lagi”, bisikku pelan. Dia pun menoleh dan menyeka air matanya yang berjatuhan sembari kembali memandang ke lapangan hijau. Nampak tribun barat berangsur – angsur kosong hingga akhirnya hanya ada aku dan Ryan.

Hujan pun akhirnya turun membasahi setiap petak dari rumput lapangan dan setiap jengkal stadion My Dinh. Ryan pun kembali menitikkan air matanya ketika melihat permainan timnas yang tidak jelas arahnya dan ditambah diusirnya salah seorang pemain Indonesia akibat permainan kasar di tengah hujan yang semakin deras. Aku pun larut dalam suasana kelabu stadion My Dinh, tak terasa air mataku membanjiri setiap senti dari pipiku, sama seperti Ryan kala itu. Akhirnya pluit akhir pun berbunyi, kesedihan pun melanda setiap pemain dari timnas Indonesia. Firman Utina, selaku kapten melemparkan maaf dengan tangannya ke tribun barat di tengah – tengah derasnya hujan.

Aku pun berdiri dari tempat dudukku, memandang ke lapangan untuk yang terakhir kali, dan berucap ditengah – tengah derasnya hujan angin yang menerpa wajahku basah. “Biarlah garuda terkapar hari ini, namun hari esok garuda akan bangkit lagi dan lagi, hingga dapat merengkuh gelar bergengsi untuk ibu pertiwi. Dan aku yakin harapan itu masih ada, masih hidup disetiap lubuk hatiku, Ryan, dan jutaan rakyat Indonesia”.

]]>
https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/09/01/harapan-itu-masih-ada/feed/ 0
MANUSIA AKSARA https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/31/manusia-aksara/ https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/31/manusia-aksara/#respond Wed, 31 Aug 2016 01:51:05 +0000 https://sendangagung-lamongan.desa.id/?p=1456 Manusia Aksaraoleh ; Syafi’ul Mubarok

Pembuluh venaku pecah ketika sebuah batu lancip seukuran buah kelengkeng dengan diameter sekitar 3 cm menghantam jempol kaki ku. Aku pun mengaduh kesakitan sembari mengagumi sudut elevasi dari batu dengan efektifnya berhasil merobek jaringan epidermisku hingga menjejalkan dirinya pada kulitku. Dari mana datangnya, aku pun belum mencari tahu.

Aku terus berjalan menyusuri lapangan yang agak terganggu keindahannya akibat proyek pembangunan yang terus bertahan. Tentunya dengan cara terpincang – pincang dengan modal sandal jepit putih yang kini telah dibasahi oleh warna merah. Aku pun sedikit merasakan getaran pada pembuluh darahku akibat jaringan Trombosit yang telah pecah guna melakukan reaksi pembekuan darah.

Saat itu telah memasuki masa Ghurub, atau orang – orang Jawa biasa bilang adalah surub. Dimana matahari telah lelah dengan harinya, bersembunyi di balik cakrawala semu berselimut senja, sebagai tanda pergantian shift kerja di langit yang kini digantikan oleh bulan sabit berumur 7 hari. “Apa karena surub ?”, gumamku menerka – nerka bagaimana bisa sebuah batu melayang dengan sempurna menghantam jempol kaki ku.

Kembali orang – orang Jawa bilang, saat surub merupakan saat yang paling riskan bagi umat manusia. Anak – anak kecil dilarang bermain ketika ufuk jingga telah datang bertemankan adzan. Entah karena apa tidak dibolehkan, alasan utama mereka adalah terlalu banyak keganjilan yang terjadi pada saat itu. Dan contoh kecilnya telah menimpaku.

“Omong kosong, mungkin orang Jawa yang terkenal filosofis itu hanya mengarang cerita agar para manusia yang belum mengerti apa – apa tidak mengotori kesucian senja, momen ketika Allah memasukkan malam kepada siang”. Di dalam otak ku seakan terjadi perang saudara utamanya antara lobus oksipitalis yang membawahi memori, dengan lobus frontalis yang mengedepankan logika dan matematika.

Dan ini adalah momen pertamaku melawan senja, akibat pulang terlalu larut setelah bimbingan belajar UN. Andai saja teman – temanku tidak bertingkah agak manja dengan gurunya mungkin aku tidak perlu meniti sendiri jalan ketika ghurub. Semakin aku memikirkannya, maka semakin aneh pula kondisi tubuhku. Ya, seseorang telah meniupkan sedikit rasa takut ke dalam hati dan pikiran ini.

Sel protombin telah berhasil sepenuhnya menyumpal pembuluh darahku agar tidak keluar, di ikuti dengan riak – riak warna merah yang mengotori jempol ku. Walaupun demikian, aku tetap merasakan kesakitan akibat terpapar udara aneh saat senja. Dan hal yang membuatku paling tidak suka adalah kerumunan bambu di saat senja. Memang ketika siang menjelang mereka seakan menjadi tempat bernaung yang sempurna bagi para musafir. Lain cerita bila hal itu dikaitkan dengan senja.

Cerita – cerita karangan mendekati kebenaran keluar masuk otak ku ketika aku harus melewati barisan bambu yang seakan – akan menjadi mimpi buruk bagiku. Aku berhenti sejenak mengamati mereka. Tidak ada senyuman, hanya sebatas keheningan yang mencekam. Kebenaran dan khayalan mulai mengacak – acak pikiranku. Tiba – tiba saja mereka bergerak seakan ditiup oleh angin, padahal hanya kekosongan yang kurasakan.

Aku menarik napas panjang sembari meraih bulpoin serta secarik kertas dari dalam tasku. Bukan tanpa maksud, sengaja aku ingin membuktikan kepada tubuhku yang tengah terganggu takhayul bahwa ada penjelasan dibalik setiap kejadian. Tanganku mulai beradu dengan pena serta kertas sementara bola mataku sesekali melihat ke bambu – bambu yang seakan menyeringai ke arahku.

“Tidak mungkin”, teriakku dalam hati di ikuti dengan kegugupan yang tiba – tiba hadir. Aku mencoba menganalisa perbandingan momen inersia terhadap panjang bambu, ditambah besaran partikel – partikel angin yang mencoba menumbuk batang bambu. Aku kembali menelusuri angka – angka taksiran hitungan di atas kertas putih itu yang seakan bersembunyi di balik temaramnya senja. Semakin aku melihatnya, semakin gugup pula aku dibuatnya.

Angin tiba – tiba saja datang dan menerpa kertas coretanku, di ikuti dengan bergeraknya batang – batang bambu yang seakan ingin menimpaku. Hatiku berteriak sangat keras, di ikuti dengan saraf – saraf motorik yang menggerakkan rangkaku untuk berlari melawan angin. Hormon adrenalinku naik turun, 100 meter darinya aku menahan lelah. “Mana mungkin 10 Newton digerakkan oleh 0,5 m/s”, keluhku pasrah.

Sembari menahan lelah, bola mataku menangkap sebuah rumah di ujung jalan. Rumah kayu tua yang kabarnya dihuni oleh seseorang laki – laki lanjut usia bernama mbah Prapto. Ia tinggal sendirian setidaknya mulai 4 tahun yang lalu, ketika anak satu – satunya ditelan oleh ombak di laut utara. Semenjak kejadian itu, ia menjadi orang yang menutup diri. Jangankan mengunjungi, lewat di depan rumahnya pun orang hanya berani ketika siang hari dengan syarat lebih dari 3 orang.

Dan kini, aku harus lewat sendirian di depan rumanya di saat ghurub pula. Hormon adrenalinku kembali menyala, memberi andil kepada keluarnya butiran – butiran keringat kegugupan yang dingin akibat terpapar hawa senja. Aku pun teringat dengan sebutan kakakku tentang orang itu, ia memberi nama manusia aksara. Walaupun menutup diri, ia tetap produktif dengan menelurkan cerita – cerita dari pikirannya.

Bukan hanya sebatas cerita – cerita bergaya sinetron Indonesia, tetapi lebih dari itu. Dan kabarnya cerita pendek yang ia buat memiliki aura berbeda di kalangan pembaca. Sehingga tak ayal bila koran – koran lokal berebut untuk memuat karyanya. Walaupun demikian, suasana misterius tetap menyelimuti cerita – ceritanya seperti halnya hidupnya. Terakhir, ia membuat remaja kampung sebelah gila setelah membacanya begitu pula dengan koran lokal yang menerbitkan karyanya pun harus gulung tikar tanpa ada sebab yang jelas.

Aku mengumpat otakku, utamanya bagian lobus oksipitalis yang telah membiarkan memori tentang orang itu terbuka di saat yang kurang tepat. Semakin mendekati rumah dengan cahaya temaram lampu 5 watt itu, semakin berat pula jari – jari kakiku. Kakak ku pun juga pernah bilang, kata – kata yang ia hasilkan dalam ceritanya seakan mampu berbicara dan mempengaruhi siapa yang membacanya. Sekali lagi aku memaki, mengapa memori itu datang lagi.

Kini aku sudah beberapa meter lagi dari tempat itu, sementara hawa dingin terus – terusan menusuk tulangku. Ku pandang jam tangan biru tua yang melingkar di lenganku, 1 menit yang lalu iqomah terakhir telah dikumandangkan. Kini senja benar – benar mencekam. Hanya ada aku, rumah itu, dan jalan pulang. Aku terus melangkah pelan, dengan mencoba memendam ketakutan. Kedua jendela beserta pintu dengan arsitektur Jawa kuno telah masuk ke retina mataku.

Hatiku tiba – tiba saja mencelos, kaget bukan main. Telingaku seakan ingin melompat keluar ketika mendengar suara pekikan dari dalam rumah itu, di tengah keheningan senja. Tanpa pikir panjang, aku mencoba membekap rasa takutku untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi. Karena rasa penasaran itu lebih mengganggu dari pada sekelompok lebah yang mendengung atau mesin diesel yang menderu.

Aku menengok ke kiri dan ke kanan, sepi. Kaki ku langsung ku langkahkan ke beranda rumah, dan mungkin senja kali ini akan mencatat bahwa aku lah manusia pertama yang menginjakkan kaki di bagian kecil rumah itu, sendiri, dan ketika malam menjelang. Gugup, tidak. Tubuhku hanya sedikit bergetar akibat hormon adrenalin yang kini mengacak – acak urat sarafku.

Bola mataku menangkap sebuah kurva permintaan dan penawaran di zaman orde baru yang telah lusuh tertempel di depan rumahnya. “Mungkin ia masih teringat dengan zamannya Pak Harto”, gumamku menghibur diri. Di dekatnya, terdapat sebuah sketsa wajah perempuan bekas coretan kapur entah tahun berapa ia membuatnya. Kembali aku menduga, mungkin itu adalah istri tercintanya. Kemudian, aku mencoba mengintip lewat celah rumah.

Tidak hanya sosok laki – laki tua dengan jenggot tebal saja yang tengah duduk di sebuah meja kuno. Di sekelilingnya, huruf – huruf yang mirip aksara Jawa membantu membisikkan kata – kata ke telinganya. Aku terus mengucek – ucek mataku, apakah ini benar sebuah realita atau hanya sebatas ilusi. Yang pasti saat itu, ketakutan telah berkuasa di dalam tubuhku. Aku ingin secepatnya meninggalkan tempat itu.

Ketika aku hendak melangkah pergi, jam tanganku tiba – tiba saja lepas dari tanganku dan jatuh di depan pintu. Dengan gugup, aku duduk mengambil jam itu. Tubuhku bergetar ketika decitan pintu itu mengiang di telingaku. Muncul di baliknya, siluet hitam manusia aksara dengan senyum menyeringai di wajanya. Yang terakhir aku lihat, kilatan pisau dari huruf – huruf  aksara yang muncul di baliknya sembari mendekatiku.

]]>
https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/31/manusia-aksara/feed/ 0
JERAWAT SANTRI https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/12/jerawat-santri/ https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/12/jerawat-santri/#respond Fri, 12 Aug 2016 08:24:22 +0000 https://sendangagung-lamongan.desa.id/?p=1373 Jerawat SantriSyafi’ul Mubarok

Entah sejak kapan aku mengenalnya. Kalau ingatanku tidak salah sekitar 6 tahun yang lalu. Ketika aku bertemu dengannya, ia masih anak – anak dengan nama Muqoddar. Nama yang cocok untuk menjadi bagian dari sebuah pondok. Sebenarnya ia sudah berumur 10 tahun kala itu, namun karena posturnya yang kelewat kecil aku sendiri lebih nyaman menyebutnya sebagai anak – anak.

Pertemuan kami pun tidak berjalan mengenakkan. Aku memandangnya masuk ke ruang konveksi dengan berpegang erat pada tangan ibunya. Senyuman hangat yang merekah di bibir petugas konveksi hanya dibalas dingin oleh tatapan penuh kesedihan olehnya. Aku pun tak terlalu heran mengapa ia memilih masuk ke ruangan 15 kali 8 meter yang penuh sesak oleh mesin jahit dan tanpa AC.

Karena semua santri baru pun melakukannya. Belanja keperluan primer maupun sekunder, yang akan menemaninya selama menuntut ilmu di pondok. Ibunya masih berusaha menawar perlengkapan sholat yang tidak sesuai dengan harga standar mereka. Sementara ayahnya—yang tiba – tiba saja muncul di balik pintu—langsung menuju kursi coklat tua untuk menenangkan anaknya yang sedikit rapuh semangatnya.

Mereka semua duduk di ruang pelayanan, yang tak jauh dari posisiku di ujung ruangan. Ia akhirnya memandangku melewati barisan mesin jahit dengan tatapan yang datar. Entah seberapa penuh otaknya saat itu, hingga membuat goresan senyum pun tidak sanggup. Dan aku berani menduga, itu adalah salah satu syndrome santri baru. Tidak ingin meninggalkan kenikmatan yang ada di rumah. Apalagi ia berasal dari daerah pesisir Paciran.

Momen itu akhirnya berakhir setelah ibunya mengeluarkan sejumlah uang yang kemudian di tukar dengan beberapa perlengkapan sholat. Sajadah, baju koko putih, hingga kopyah baru. Mereka bangkit sembari mengucapkan sepatah kata—terima kasih mungkin—kepada petugas konveksi. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung mengikutinya.

Di luar—dengan latar yang sama—terjadi perpisahan antara orang tua dan anak. Peluk erat, tumpahan air mata, hingga suasana kerinduan menghiasi setiap sudut area. Begitu pula dengan Muqoddar—aku mengetahui namanya lewat membaca kartu santri baru yang terkalung di lehernya—yang dengan beratnya berusaha melepaskan pelukan kepada ibunya. Pesan – pesan mengalir deras dari mulut ibu serta bapaknya.

Dan momen emosional itu akhirnya usia setelah lantunan ayat suci Al – Qur’an menggema di ujung menara, sementara Muqoddar telah memondong perlengkapan sholat yang telah sepenuhnya ia miliki. Lambaian terakhir ia berikan kepada orang tuanya sembari menitikkan air mata. Dan kini tinggal aku dan dia, setelah bayangan kedua orang tuanya telah tertutup oleh kerumunan santri yang berangkat ke masjid.

Posisi yang kaku terjadi padaku. Ketika bola matanya memandangku. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia lebih memilih pergi dengan meninggalkan berjuta tanda tanya dibenakku. Sebenarnya aku ini apa, sampai – sampai ia tidak memberikan sapaan pertemanan. Tapi siapa sangka, kami menjadi teman seperjuangan—setidaknya sampai 6 tahun—di bawah naungan pesantren. Walaupun toh, pertemuan awalnya tidak begitu mengenakkan.

***

Waktu telah mengubah segalanya, begitu pula dengan lingkungan yang juga ikut andil dalam merubah watak serta sikapnya. Awal aku melihatnya, ia hanya sebatas bocah kerdil kurus yang agaknya mengalami masalah dengan pertumbuhannya. Namun kini ia sudah menjelma menjadi santri bertubuh jangkung tetapi tetap kurus. Mungkin kurus telah menjadi ciri khas yang senantiasa ia bawa.

Dan satu lagi yang aku heran. Selama itu pula ia miskin kawan—kecuali aku—seperjuangan. Teman hanya dianggapnya sebagai sebatas teman tanpa ada ikatan emosional yang jelas. Baginya, kekeluargaan menjadi hal yang asing di tengah hingar bingarnya kehidupan pesantren. Pastilah ia sangat kuat menahan kepedihan tanpa ada kawan. Hanya aku yang menjadi kawan bicara setiap harinya. Sebuah kebanggaan sekaligus keanehan.

Hingga suatu ketika ia dililit oleh permasalahan yang tidak jelas pangkal kesalahannya. Tiba – tiba saja bagian kemanan merangsak masuk ke asrama sembari membawa sebilah kayu di tangannya. Kemudian ia bertanya pasal siapa yang bertanggung jawab atas rusaknya kaca jendela di asrama kepada para penghuni lainnya. Dengan serempak, mereka menunjuk ke arah Muqoddar yang tengah duduk sembari mengamati sisi almarinya. Entah apa yang tengah ia pandangi.

Setidaknya itulah yang aku lihat. Diam sejenak menghinggapi bagian keamanan dengan postur yang cukup gempal. Mungkin ia tengah menghayati prinsip demokrasi, bahwa suara terbanyaklah yang menang. Ia pun memutuskan untuk menghujamkan kayu itu ke tubuh Muqoddar. Ia hanya bisa mengaduh kesakitan tanpa ada pembelaan. Sementara aku hanya bisa diam. Sepengetahuanku, kaca itu pecah akibat bola dari tendangan Alfin, ketua asrama ini.

Dari situ, aku belajar satu hal. Sebenar apa pun kita, kalau tidak ada teman di sana, maka hanya kerugian yang akan kita derita. Untuk insiden yang menimpa Muqoddar, aku menyebutnya jerawat santri. Karena santri juga manusia yang bisa bertindak khilaf dan lupa. Setelah kejadian itu, Muqoddar langsung mengajakku ke masjid untuk mengadukan semuanya kepada Allah. Agak kepagian memang, maghrib masih 1 jam lagi begitu pula dengan cahaya jingga yang masih ada di ufuk sana.

Perjalanan ke masjid ternyata mempertemukanku dengan jerawat santri yang lainnya. Biasa disebut dengan akhwat (perempuan). Secara teori, memandang lawan jenis sangatlah riskan bagi para santri. Boleh satu kali, katakanlah itu sebagai rezeki. Namun, teori itu ternyata belum sepenuhnya masuk ke otak Muqoddar. Ia malah memandangi akhwat yang berlalu lalang sepanjang perjalanan. Banyak yang tak peduli, dan tak sedikit pula yang membalas dengan tatapan aneh. Aku mencoba berkali – kali menundukkan pandangannya. Tapi, tangannya malah menghantamku untuk yang kesekian kali. Akhirnya, aku menyerah.

Dari situ akhirnya aku membenci istilah pacaran secara islami. Entah siapa yang memperkenalkan kosa kata multi tafsir itu. Justru hal itu kini menjadi tren tersendiri bagi remaja islam. Jika di analogikan, pacaran secara islami itu seperti boleh mandi, tapi jangan sampai basah.  Intinya adalah sia – sia.

***

Tak terasa kini ia telah berdiri di atas panggung kelulusan berbalutkan jas kebanggaan. Bangga, itulah caraku memandangnya. Berbekal ilmu dari pesantren, ia siap membangun desa pesisirnya menjadi kampung berperadan islami. Toga telah berada di atas kepalanya, menggantikanku yang telah 6 tahun bersamanya. Aku hanya bisa berdoa yang terbaik baginya, karena aku hanya sebatas kopyah yang telah lusuh termakan usia.

]]>
https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/12/jerawat-santri/feed/ 0
BUKU TUA DI BALIK JENDELA https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/11/buku-tua-di-balik-jendela/ https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/11/buku-tua-di-balik-jendela/#respond Thu, 11 Aug 2016 01:53:59 +0000 https://sendangagung-lamongan.desa.id/?p=1365 Buku Tua di Balik Jendela

Syafi’ul Mubarok

Entah sudah berapa lama buku itu ada di jendela. Aku yang punya kamar hanya tahu beberapa hari ini saja. Buku kusam nan jelek, yang hampir bersatu dengan gorden jendela coklat penuh debu seakan bersembunyi dariku, dari hingar bingar dunia modern. Ia hanya memalingkan muka dariku ketika kupandang dari sudut ruangan kamarku. Tanpa ada satu pun keberanian dariku untuk mengambilnya dan membacanya seperti layaknya buku – buku yang lain.

“Mungkin buku tersebut memiliki sejarah yang panjang”, gumamku dalam hati. Sinar mentari sore menghantamku dari luar jendela menembus kaca dan menyadarkan lamunanku. Masih saja tangan ini kaku jika sudah berurusan dengan buku tersebut. Pikiranku beku ketika memikirkan apa yang ada di dalamnya dan apa yang terjadi setelahnya. Semakin berjalannya detik – detik kehidupan membuat suasana semakin  mencekam

Pantatku mulai kram akibat terlalu lama duduk di kursi belajarku, sehingga mengharuskanku untuk keluar dan mengambil sedikit peregangan otot – otot dengan cara senam. Aku pun berdiri dari kursi dan melangkahkan kaki keluar menuju pekarangan rumah yang berpendar akibat sinar mentari sore. Ya waktu itu aku melaksanakan beberapa senam kecil berharap efek kram ototku hilang dari sekujur tubuhku.

***

Pada siang yang terik, aku tiba telah tiba dari sekolahan dengan keadaan yang kecapekan. Selain jarak yang ditempuh oleh kedua tungkai kakiku cukup jauh, juga karena sengatan sinar mentari siang yang membakar kulit karena kita tahu kulit manusia sangatlah sensitif ketika harus berurusan dengan sinar UV apalagi jika tidak ada perlindungan dari lapisan ozon di Ionosfer yang sudah mulai menghilang.

“Assalamu’alaikum, Ibu”, ucapku ketika melewati pintu depan rumah yang terbuka lebar. Tidak ada jawaban di sana. Ku langkahkan kaki masuk menyusuri ruangan tamu, keluarga, hingga dapur tempat yang biasa dijadikan Ibu ku sebagai tempat mencari inspirasi. Foto – foto keluarga ku yang terpampang di dinding seakan memandangku aneh. Aku tidak memperdulikan hal tersebut dan terus menuju ke dapur.

“Ibu”, panggilku dengan menyeka gorden pembatas antara dapur dan ruang keluarga. Asap – asap putih mengepul di ruangan menyapaku panas dengan di ikuti suara ibu yang tak kalah oleh tebalnya asap yang dihasilkan akibat pembakaran kayu, “Iya ada apa?”. Mendengar jawaban itu badanku yang capek serasa lega dan melangkah keluar dari dapur untuk menghindari asap yang menempel di baju putih abu – abu yang ku pakai.

Aku melemparkan tas punggungku dan menjatuhkan diri ke atas kasur untuk beberapa saat. Ada suatu kelegaan yang hadir, beristirahat sejenak melepas penat akibat beban kehidupan yang sudah seharian dipikul oleh punggungku yang rapuh ini. Tak terasa aku sudah memasuki alam bawah sadar dengan masih berbusanakan seragam sekolah yang belum aku lepas. Tak lama berselang ibuku biasanya membangunkanku seraya berkata, “Makan Dulu sana”.

Itulah aku, walaupun sudah berkali – kali tubuhku digerak – gerakkan oleh tangan dari ibuku, aku tetap saja tidak bangun. Jika tersadar hanya untuk beberapa saat saja kemudian kembali tertidur lagi. Namun entah mengapa hari itu cara membangunkan ibuku berbeda dari biasanya. Memang cara ini sangat ampuh karena tanpa kusadari aku langsung terbangun denga perasaan panas di sekitara mata. Di dalam lubuk hati yang paling dalam, aku sedikit banyak menyimpan dongkol kepada ibuku waktu itu, namun aku tidak berani mengeluarkannya sehingga ibuku tahu. Cukup aku dan sang pencipta yang tahu. Karena bisa saja nanti berujung pada mendurhakai orang tua.

Setelah mengusut, mengadakan penelitian, dan merekonstruksi kasus, akhirnya aku menemukan cara bagaimana ia membangunkanku dengan cara yang sangat cepat. Ternyata ia menggunakan balsam kemudia mengusapnya di sekitaran mataku, hal ini berhasil kuketahui setelah panas di mataku perlahan – lahan berubah menjadi memar kehitaman. Itulah reaksi zat penyusun utama pada balsam yaitu metil salisilat terhadap kulit secara terus menerus, sedangkan memar pada kulit disebabkan oleh pecahnya ikatan rangkap 2 zat salisilat oleh alkalimetri sehingga yang terjadi adalah warna hitam di kulit bak bekas tonjokan yang memar.

Seperti biasa, ia hanya tersenyum manis kepadaku. Aku hanya bisa terbangun dengan perasaan kacau. Tanpa kusengaja, ketika proses menegakkan tubuhku aku memandang sebuah buku bersampul hitam kelabu tersembuyi rapi di bawah jendela kusam kamarku. Hormon Deuretik di otakku seakan meningkat, membuatku lebih tersadar dari biasanya. Tanpa kusadar, neuron motorik yang terletak di mulut dan tanganku otomatis bekerja. Impuls saraf yang ada di tubuhku tidak melewati sistem saraf pusat (otak), melainkan langsung menuju tulang belakang. Hal ini membuatku terkaget buka main, begitu juga nampak pada ibuku melihat apa yang ku lakukan.

Aku mengangkat tangan dan jari telunjukku menunjuk ke tempat di bawah jendela yang tertutup oleh gorden coklat nan kusam. “Bu, itu buku apa?”, tanyaku dengan reflek. Ibuku hanya memandangiku senyap, tanpa berkata apapun ia melangkah pergi keluar dari kamar sederhanaku dan meninggalkan tanda tanya besar bagiku. Itulah saat dimana pertama kali aku bertemu dengan buku itu. Buku kusam nan jelek yang bersembunyi di balik tirai jendela, yang membuatku penasaran sepanjang waktu.

***

Siluet jingga memancar di ufuk barat cakrawala membuat mataku takjub akan keindahannya. Aku telah selesai dengan olah raga kecil yang telah ku lakukan untuk meredakan stress otot dan juga suasana mencekam di bilik kecilku tadi. Walaupun hanya sebentar, tubuhku bak sungai yang telah terbanjiri oleh keringat yang mengalir dengan derasnya setiap detiknya. Sembari duduk di serambi dan memandang alam sekitar, aku mulai berfikir untuk menanyakan suatu hal yang membuatku ketakutan setiap waktu di dalam kamar pribadiku, yaitu buku kusam yang bersembunyi di balik tirai coklat nan kusam.

Aku pun melangkahka kakiku masuk meninggalkan rona jingga yang kini telah berganti menjadi merah lembut khas suasana Ghurub atau akan maghrib. Di dalam aku menjumpai ibuku yang telah berpakaian mukena dengan sajadah di tangan, pertanda bahwa ia bersiap – siap untuk sholat jama’ah. Aku duduk disampingnya kemudian bertanya perihal buku tua tersebut. Awalnya ia kaget dan terheran kepadaku, namun akhirnya ia menjelaskanku dengan panjang lebar tentang buku tua yang ada di kamarku.

“Bu, buku apa yang ada di kamarku ?”, tanyaku kepadanya. Dengan ekspresi yang sama ketika aku tanyakan kepadanya pertama kali waktu itu, ia masih saja menjawab menggunakan diam seribu bahasa. “Bu, aku mohon ceritakan perihal buku itu kepadaku, karena hari – hari ini buku tersebut membuatku takut”, rayuku kepadanya. Dengan tarikan nafas yang panjang dari hidungnya ia pun menjelaskannya kepadaku.

“Buku itu sudah berusia lama sekali, kira – kira hampir 14 abad lah”, ia berhenti berbicara dengan bernafas lebih kencang dari biasanya. “Sudah kuduga”, gumamku dalam hati. Ia pun meneruskan penjelasannya, “Buku tersebut merupakan buku peninggalaka kerajaan singosari yang mana di wariskan turun temurun hingga diturunkan kepada almarhum ayahmu”. Mulai menarik kurasa cerita dari ibuku. “Sengaja ayahmu menyimpannya di suatu tempat di kamarmu agar suatu saat nati engkau bisa melihatnya, karena menurut pesan dari almarhum ayahmu buku itu hanya boleh dibaca dan oleh seseorang keturunan dinasti kerajaan singosari”, jelasnya padaku.

“Jadi apakah aku boleh membacanya ?”, tanyaku padanya dengan berharap – harap cemas. Ibuku hanya tersenyum kepadaku sembari mengangguk tanda setuju. Iqomah telah berkumandang dan ibuku izin kepadaku untuk berjama’ah di masjid, aku pun hanya meng iyakan apa yang ia bicaraka kepadaku karena otakku hanya memikirkan perihal buku tersebut.

Dengan perasaan gembira bercampur cemas, aku melangkah cepat menuju kamar, menutup pintu, dan berjalan menuju jendela bergorden coklat kusam di ujung kamar. Tanganku menyentuh permukaan buku tersebut yang penuh dengan debu, sehingga aku pun perlu beberapa menit untuk membersihkannya agar tampak bersih. Aku kemudian duduk di atas kasur dengan buku yang sudah menempel di tangan. Lampu ruangan kala itu menjadi saksi bisu, memandangku hening ketika aku membuka buku kusam milik dinasti singosari tersebut.

Dengan tangan bergetar dan hati tak tenang, aku pun mulai membuka halaman pertama. Kudapati tulisan yang mana setelah aku amati untuk beberapa waktu, aku akhirnya paham bahwa itu adalah aksara jawa. Di ujung halaman tertulis angka jawa yang bertuliskan 700 M. “Mungkin itu adalah tahun di mana kitab itu ditulis”, gumamku dalam hati. Sedikit banyak aku bisa membaca kata – kata di buku kusam tersebut, karena kebetulan aku sangat suka dengan pelajaran bahasa jawa apalagi untuk aksaranya.

Waktu pun terus berlalu, senada dengan jari telunjukku serta mataku yang padu untuk menelurusi kitab yang telah berusia 14 abad lebih, semakin ku baca semakin takjub aku dibuatnya. Kebanyakan adalah cerita tentang epos – epos besar yang ternyata kebanyakan belum terungkap oleh sejarah, diantaranya tentang misteri pulau jawa, legenda nyi roro kidul, hingga sesuatu yang ada di balik tingginya gunung semeru di bromo tengger.

Menurutku, yang paling menarik dari beberapa epos tersebut adalah sesuatu yang terdapat di balik gunung semeru, yang mana telah membuatku tercengang. “Mungkin ini adalah penyebab mengapa gunung semeru di cap sebagai gunung yang penuh mistik nan legendaris”, gumamku dalam hati. Namun sayang, aku tidak bisa menceritakannya kepada pembaca perihal makhluk tanggir tersebut, karena pembaca semua bukan keturunan dari dinasti Singosari.

]]>
https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/11/buku-tua-di-balik-jendela/feed/ 0
NYAMUK NEGERI https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/04/nyamuk-negeri/ https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/04/nyamuk-negeri/#respond Thu, 04 Aug 2016 23:15:29 +0000 https://sendangagung-lamongan.desa.id/?p=1356 Nyamuk Negeri

Syafi’ul Mubarok

Suara petir menggelegar di angkasa luar, ketika aku tengah berdiri di balik jendela. Awan gelap menyelimuti langit yang sudah terlalu lama tetutup kabut asap. Hujan, sebuah fenomena yang diharapkan oleh setiap kami yang bernapas di balik pekatnya kabut asap yang telah mengungkung setiap diri kami sepanjang hari.

“Moga – moga aja turun hujan”, Fani tiba – tiba saja muncul di balik gorden dapur dengan membawa semangkuk bubur panas. Aku masih saja termenung meratapi kondisi yang tengah menghampiri di sekitar rumah kami. Berkat kabut asap lah kami tidak bisa menambah ilmu, berkat kabut asap perekonomian terus lumpuh.

Fani kemudian duduk sembari melahap bubur yang terlihat masih menyemburkan asap panas, sementara aku masih tertarik dengan kondisi di luar yang batas pandang hanya beberapa meter saja. Menjadi sebuah kewajaran jika tidak ada satu pun kendaraan yang berlalu lalang di tengah jalan yang penuh dengan asap.

Jika pun ada itu adalah bagi mereka yang berani ataupun terpaksa harus keluar rumah. Karena korban akibat penyakit ISPA sudah tidak bisa terhitung banyaknya, mulai dari kecil hingga dewasa, tua hingga muda, semua jatuh akibat menghirup udara tak segar dari kebakaran hutan.

Bola mataku menangkap sorot mobil kendaraan yang tengah beradu dengan kabut asap yang memenuhi udara. Sorot lampu itu semakin dekat dan terus mendekati rumah kami hingga berhenti di pekarangan rumah yang hijau dan kini sudah menjadi kenangan belaka.

“Ada yang datang”, ucapku singkat. Fani pun mulai tertarik dengan perkataanku hingga ia melemparkan buburnya yang hampir habis ke meja kemudian mendorongku untuk melihat seseorang keluar dari mobil yang terparkir di depan rumah.

Seseorang berjas putih menyatu dengan asap tebal dengan mulut berbalut masker berjalan tergopoh – gopoh menuju pintu rumah kami. Beberapa saat kemudian, pintu kami mengeluarkan suara berisik akibat di pukul oleh orang tersebut. Tanpa kusadari Fani sudah menghilang di sampingku.

“Ayah”, teriak Fani histeris ketika membuka pintu rumah kami yang berderit. Aku pun sontak terkaget dan langsung menuju ruang tengah, melihat ayah dengan jas putih yang telah menguning akibat paparan kabut asap.

“Kok nggak bilang – bilang ?”, tiba – tiba Ibu muncul dari dapur. Ayah hanya nyengir terhadap kami semua di tengah keheranan yang melanda. “Ayah hanya mengecek keluarga ayah”, ucapnya singkat.

“Sudah beberapa minggu ini mereka tidak masuk sekolah karena libur akibat kabut asap”, jelas Ibu dengan sedikit agak menggerutu. “Di Padang pun demikian, semua aktivitas belajar mengajar dan perekonomian lumpuh total akibat kabut asap”, katanya tak mau kalah.

“Hujan tak akan turun di langit Indonesia akibat badai El Nino yang menghirup awan musim penghujan yang seharusnya melintasi daratan Indonesia, kini tengah transit di suatu tempat yang ada di muka bumi ini”, ucapnya lirih.

Ayah merupakan seorang dokter yang bekerja di Padang. Jarang sekali ia pulang itu pun jika ada sesuatu yang mendadak dan harus di selesaikan secepatnya. Walaupun demikian, ketika Sumatera dilanda musibah kabut asap ia pun beralih profesi menjadi dokter spesialis pernafasan. Yang tanpa pamrih menolong orang yang membutuhkan, begitu pun kepada keluarganya.

“Sudah lama sekali tanah ini tidak menghirup udara yang segar”, Ayah menatap ke luar jendela. “Kira – kira harus berapa lama lagi kita menunggu kabut asap ini pergi ?”, tanya Fani penasaran. Ia hanya menggelengkan kepala sembari duduk di kursi yang tersedia, begitu pun kami berdua.

Sementara Ibu sibuk kembali dengan urusan dapur, kami pun memanfaatkan momen ini untuk lebih dekat dengan ayah kami sembari bertanya banyak hal kepadanya. “Ayah, apakah tidak ada terobosan dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini ?”, tanya Fani dengan nada agak emosi. Mungkin ia telah rindu dengan oksigen yang telah terlalu lama jauh dari paru – parunya.

“Pemerintah tidak tidur, Fan. Mereka siang malam berusaha menyingkirkan kabut asap dari daerah kita, mulai dari rekayasa cuaca, hingga bom air. Dan bahkan sepanjang jalan yang ayah lalui tadi, ayah melihat beberapa tentara tengah bergelut dengan asap”, jelasnya.

“Kini Indonesia memiliki brand baru untuk bisa menjadi tren di dunia Internasional, Indonesia sebagai pengekspor utama asap ke negeri tetangga”, ucapku sinis sembari bangkit dari kursi dan berjalan mendekati jendela lagi.

Mendengar perkataan itu, Fani hanya tergelak sembari tertawa geli. Sedangkan ayah agak kaget mendengar kata – kata yang terlontar dari mulutku dengan mengelus – ngelus keningnya yang mulai rapuh oleh usia.

***

Suara dentuman musik pesta menggema di setiap sudut ruangan. Beberapa orang dengan memakai jas rapi tengah berdansa untuk merayakan sebuah kemenangan. Ada yang tertawa – tawa, ada juga yang sudah tak sadarkan diri akibat menenggak alkohol tanpa kadar. Di sebuah tempat yang hanya mereka dan tuhan yang mengetahuinya.

Mundur satu bulan yang lalu, di tempat yang sama, dengan suasana yang berbeda. Sekelompok orang berpakaian rapi, ada pula yang berpakaian santai tengah melakukan sidang di depan meja melingkar. Mereka seakan merencanakan sesuatu yang seru.

“Kalau ditebang satu per satu, kita akan rugi hingga 40 % Pak. Jadi alangkah lebih baiknya menggunakan alternatif yang lain”, usul seseorang dengan corak wajah melayu kepada pemimpin rapat. Pemimpin rapat yang seorang sudah berumur pun mengerutkan dahi.

“Di bakar aja”, teriak seseorang berkacamata yang duduk di ujung ruangan. “Jangan, nanti akan menimbulkan bencana kemanusiaan”, nasehat seseorang dengan memakai pakaian sederhana. Mungkin ia adalah penduduk setempat.

Dengan penuh pertimbangan antara ego dan kemanusiaan pimpinan rapat pun memutuskan, “kita bakar habis lahan liar yang ada di utara tempat ini, untuk pembukaan tanah pertanian”. Sontak seluruh ruangan yang hanya berisi 10 orang berteriak setuju dengan keputusan pemimpin rapat.

Namun tidak dengan seseorang berpenampilan sederhana, ia hanya termenung seakan mengetahui dampak tingkah laku mereka merugikan beribu – ribu umat manusia. Beberapa saat kemudian, mereka pun langsung menyalakan api dan menjatuhkannya di lahan gambut yang mudah sekali terbakar di utara tempat itu.

Tak butuh waktu lama bagi si jago merah untuk melahap habis pepohonan maupun tumbuhan baik yang sudah kering atau pun masih muda, begitu pun dengan tanah gambut yang ikut terbakar. 2 Jam kemudian, api telah meluas hingga sampai ke ujung cakrawala. Tanpa sedikit pun memiliki rasa iba, mereka lantas pergi meninggalkan itu semua tanpa ada rasa menyesal yang melekat di dada.

***

Bola mataku telah lelah dengan gumpalan kabut – kabut putih yang bercampur dengan asap sisa pembakaran yang terus mengepul dari tanah gambut yang kini berubah seolah – olah menjadi arang dan batu bara, yang walaupun telah padam tetap memunculkan kabut asap ke udara.

Fani dan Ayah sepertinya telah selesai dengan makan siang mereka. Sementara aku masih terpaku terhadap keadaan yang hingga kini kami belum mengerti sampai kapan musibah ini terus terjadi. Melihat aku memandang ke luar dengan tatapan iba, ayah pun mendekatiku.

“Ini semua adalah ulah nyamuk – nyamuk negeri yang terus menghisap ibu pertiwi tanpa menggunakan hati. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dari pada kepentingan manusiawi”. “Iya Ayah, tapi mereka itu siapa ?”. gerutuku.

Hening sejenak. “Apakah mereka tidak tahu beberapa bulan ke depan kami para pelajar kelas akhir akan menghadapi ujian nasional, dan bagaimana kami bisa menjawab soal – soal yang ada kalau sekolah terus – terusan libur akibat kabut asap”. Belum sempat Ayah berucap aku pun terus mengeluarkan kata  – kata keluhanku.

“Apakah mereka tidak tahu kalau Dollar tengah berjaya sementara Rupiah tengah merana, apalagi dengan lumpuhnya kegiatan perekonomian akibat kabut asap, begitu pula dengan label jelek yang dilemparkan oleh bangsa lain kepada ibu pertiwi ?”.

Ayah pun menarik napas dalam – dalam dan menghembuskannya pelan sekali sembari menungguku selesai mencurahkan isi hati yang menyesakkan dada ini. “Sudah selesai ?”, aku hanya terdiam sembari menatap kabut asap yang masih bersantai di luar.

“Nyamuk itu parasit yang harus dibasmi, sedangkan pembasminya adalah pak presiden dan pemerintahannya. Kita tunggu saja nyamuk – nyamuk penghisap kekayaan negeri ini di adili atas perbuatan mereka yang keji”. “Tapi kapan Ayah, kita sudah terlalu capek untuk menunggu”, ucapku.

“Kenapa mereka tidak menyedot asap – asap ini lewat lubang hidung mereka yang panjang sebagai tanggung jawab atas perbuatan yang telah mereka lakukan, dasar nyamuk negeri”, ucapku sinis.

Melihat hal tersebut Ayah hanya mengelus kepalaku sembari berbisik, “suatu saat kamu akan mengerti buah dari kesabaran yang telah kamu tanam benihnya”. Tatapanku kosong menerjang kabut asap yang ada di luar, sebuah tatapan penuh pasrah dari salah seorang pelajar Indonesia yang tengah rindu akan udara segar.

Sampai – sampai otak terasa sakit bukan karena memikirkan ujian – ujian yang siap mendera, melainkan ikut memikirkan bagaimana kabut asap ini bisa musnah dari muka bumi. Saking pekatnya kabut yang menyelimuti, serasa hidup di atas awan layaknya di pegunungan.

Entahlah, aku hanya bisa menyongsong sepi ke penjuru  negeri. Mencari jawaban yang sekiranya berarti. Membuat surat dan dikirim ke bapak presiden pemimpin negeri. Sampai kapan pun aku dan beribu – ribu temanku akan tetap mengingat situasi ini, kondisi tanpa udara bersih.

Bersyukurlah kamu yang masih bisa menghirup udara bersih dengan gratis. Karena kamu akan menyesal telah menyia – nyiakan kondisi yang serba gratis itu ketika diselimuti oleh udara kotor nan tercemar yang berbalutkan kabut asap

]]>
https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/08/04/nyamuk-negeri/feed/ 0
MUADZIN KAMPUNG SEBELAH https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/07/30/muadzin-kampung-sebelah/ https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/07/30/muadzin-kampung-sebelah/#respond Sat, 30 Jul 2016 07:17:54 +0000 https://sendangagung-lamongan.desa.id/?p=1338 Muadzin Kampung Sebelah

Oleh : Syafi’ul Mubarok

Seseorang memandangiku aneh dari ujung jalan itu. Aku tidak peduli apakah ia laki – laki atau bukan dan yang lebih buruk, mungkin juga makhluk astral di senja hari. Aneh, bukan karena kilatan – kilatan mata itu yang mengikuti gerak – gerikku. Tetapi keadaan kampung ini yang tiba – tiba saja berubah drastis sebelum aku meninggalkan tempat ini.

Dengan memegang tas yang melingkar di punggung, ku ayunkan langkah menelusuri jalanan kampung yang telah sepi. Ragu tapi pasti. Mungkin hanya perasaanku saja atau memang itu sudah menjadi kenyataan ketika aku merasa aneh masuk ke kampung masa kecilku.

Serasa ada yang hilang, entah itu bangunan yang mulai termakan usia, atau tiang – tiang tinggi yang mencoba merobek langit. Aku masih belum mengerti, begitu pula dengan otakku. Ketika senja hari, pastilah ada sesuatu yang menenangkan hati para manusia yang sepi. Kupandangi jam tanganku lekat – lekat, sudah telat.

Aku baru sadar, tidak ada adzan lagi yang berkumandang di tempat ini. Sepi pasti. Memang kampungku dulunya adalah bekas markas PKI. Namun semenjak tragedi 30 september kampung ini berubah drastis. Sudut – sudut kampung yang dahulunya hanya berisi ruangan – ruangan tempat hura – hura dirombak menjadi bangunan ibadah. Dan kini aku melihatnya, sebuah masjid tua yang mulai tidak terawat. Mungkin karena silau dari lampu 5 watt.

Kebingunganku berhasil membuatku lupa dengan seseorang atau entah apalah sebutan pas nya yang kini mengintip di gang jauh. Ia tidak kelihatan akibat tempat yang temaram. Hanya sorot mata tajam, apakah itu kunang – kunang. Mana ada kunang – kunang bermata tajam, atau hanya sebuah ilusi malam hari.

Seseorang tiba – tiba muncul di balik belokan ketika aku menuntaskan langkahku mengabaikan makhluk aneh di belakang sana. Aku menyebutnya makhluk agar pikiran ini puas dengan khayalan – khayalan yang menurutku tidak akan pernah bisa masuk akal. Tabrakan tak terhindarkan. Aku terhuyung, sementara ia jatuh terjerembab di atas tanah.

Aku langsung menolongnya. Satu tarikan sudah cukup kirannya membuatnya bangkit kembali. Bola mataku memicing dengan sendirinya. Bagaimana tidak, sejak dulu hingga sekarang kampungku sangatlah hemat dalam hal pemakaian listrik umum. Hanya depan balai dusun hingga depan rumah pak RT yang benderang akibat subsisi listrik pemerintah.

Sementara jalan pemukiman dibiarkan gelap gulita. Tak ada apa pun kecuali lampu 5 watt suka rela yang kadang kala berdecit menakutkan kala di tiup oleh angin. Aku melihat seseorang yang beradu badan denganku tadi. Kalau tidak salah, kami terlihat sebaya. Ia memakai baju koko, lengkap dengan peci serta sarung kotak – kotak khas orang kampung.

“Maaf, tadi aku tidak sengaja”, gumamku menyesal. Ia hanya nyengir, senyum tipis yang ku tangkap di temaramnya jalanan kampung. “Mau kemana ?”, tanyaku. Sembari membetulkan letak peci nya, ia menunjuk ke sebuah masjid tua yang tadi telah aku lewati. Ia melangkah cepat, sementara aku mengikuti di belakangnya.

Namanya Muad, cocoklah untuk padanan kata muadzin sebagai rutinitas kesehariannya. Ia bukan berasal dari kampung ini, pantas saja memori otakku tidak bisa mengenalinya. Entah itu tetanggaku dulu, bekas temanku, atau orang asing yang sengaja berkenalan denganku. Semua tercatat dengan rapi di otakku, namun tidak dengan orang yang satu ini.

Ia merupakan seorang anak dari kyai kampung sebelah. Pantaslah bila ia ditugasi untuk menjadi muadzin di kampungku. Untuk beberapa saat memang aneh. Akhirnya aku paham juga. Perasaan yang mengganjal hatiku ketika berjalan sendirian di tengah temaramnya senja, makhluk yang memandangiku di ujung gang, hingga tidak adanya adzan di kampungku. Semuanya ternyata sangat berkaitan.

Aku mendengar sendiri dari mulut Muadz, sementara ia mendengar dari ayahnya. 4 tahun yang lalu terjadi peristiwa pilu yang sebenarnya aku sendiri pun tidak ingin menceritakannya di sini. Namun bagaimana lagi, cerita ini tidak akan selesai bila hal yang tidak mengenakkan itu tidak masuk dalam kisah pendek ini.

Muadz mengawali ceritanya dengan seorang gila yang tiba – tiba saja mengamuk di masjid tua di ujung jalan itu. Malam kelabu di kampungku, empat petuah kampung ditebasnya tanpa ragu. Se isi masjid murka sembari membawa nama – nama polisi di hadapannya. Esoknya, beberapa polisi berwajah tentara datang menjemputnya. Mengikatnya dengan borgol, memasukkannya dengan paksa ke dalam mobil.

Beberapa saat kemudian, warga kampung lain menemukan mobil itu masuk ke pematang sawah lengkap dengan goresan darah dari beberapa polisi di dalamnya. Sementara orang gila itu, telah hilang entah kemana. Semenjak peristiwa itu, kampung ini menjadi semakin sepi terutama pada malam hari. Semua warga mengunci diri menghindari amukan orang gila itu.

Muadz pun semakin heran, mengapa aku bisa berani sendirian berjalan tanpa beban. Dan justru aku lah yang lebih heran mengapa ia terus – terusan adzan di kampungku, yang jelas – jelas ia sudah tahu tidak akan ada yang memenuhi panggilannya. Apalagi kalau masa maghrib seperti ini.

Ia tersenyum kecut. “Bagaimana lagi, aku sudah di wasiati untuk menjadi muadzin di kampung mu”, gumamnya pendek. Aku tidak perlu bertanya lagi, bagaimana ia berani berjalan sendirian. Rutinitas itu pun sudah ia lalui selama 3 tahun ke belakang tanpa jeda sedikit pun.

Aku pun bertanya tentang kondisi masjid yang lainnya. Hanya ada 3 yang tersisa, semuanya ramai hanya ketika Dhuhur dan Ashar. Obrolan singkat itu pun kami akhiri setelah kedua bola mata kami memandangi masjid tua yang terselimuti kegelapan. Tidak ada satu pun pelita yang menyala kecuali ada orang yang mau menyentuh saklar lampu. Dan itu ada pada diri Muadz.

Entah karena terburu – buru atau ada hal yang lain, ia menabrak tiang dekat tempat wudlu hingga jatuh terhuyung – huyung. Dan jika tidak ada aku, mungkin si orang gila lah yang akan menolongnya. Aku mencoba membuat candaan yang tidak lucu di otakku. Cukuplah untuk mencairkan keganjilan ini.

Sayup – sayup adzan terdengar menggema syahdu dari speaker, ketika aku mebasahi kulit serta wajahku dengan basuhan air wudlu. Pantaslah ia diberi naman Muadz, selain sanggup untuk melafalkan kalimat – kalimat adzan mendekati sempurna, ia juga bermanfaat bagi kampung tetangganya yang agak paranoid dengan orang gila.

Kini kondisi masjid tua itu sudah berkilauan cahaya. Tidak ada kegelapan lagi di sana. Hal itu membuat mataku melebar. Akhirnya aku bisa melihat sekujur tubuh Muadz yang berdiri dekat pengeras suara dengan jelas. Maklum, semenjak awal bertemu aku pun tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dan aku percaya satu hal, bahwa ia adalah manusia bukan yang lain.

Aku tertegun ketika ia tersenyum ke arahku. Aku melihat selaput putih menutupi matanya. Itu adalah pertanda bahwa ia menderita rabun. Aku pun tak bisa membayangkan bagaimana ia harus jatuh bangun menabrak tiang masjid ini setiap malam akibat penglihatannya yang kurang sempurna. Walaupun demikian, ia tetap melangkah tanpa ragu dan yakin bahwa ia akan sampai di masjid tua ini.

Muadz tidak perlu menunggu lama untuk melafalkan iqomah, karena ia juga paham tidak akan ada yang datang menjadi makmumnya kecuali hari ini. Sedikit keajaiban terjadi, ketika makhluk bernyawa datang di belakangnya apalagi di kala senja untuk melaksanakan sholat Maghrib yang sudah kelewat telat. Dan itu adalah Aku.

Ia kemudian mengawali takbir pertama yang lantas aku ikuti dengan sepenuh hati. Aku mencoba meresapi ibadah yang satu ini, karena hampir mirip dengan meditasi. Namun gemerisik suara di luar masjid membuatku terganggu. Siapakah gerangan yang mengacaukan konsentrasi sholatku. Aku tercekat memikirkan kata – kata itu.

Bayangan – bayangan itu tiba – tiba saja terlintas di benakku. Dua mata melotot di ujung jalan tadi, hingga cerita Muadz mengenai orang gila yang berbuat onar di kampungku 4 tahun yang lalu. Semakin aku mengikuti bayangan – bayangan itu, semakin kacau sholatku. Sedikit aku merasa tenang ketika telah sampai di gerakan sujud.

Namun, ketika aku berdiri kembali dari sujudku, suara – suara itu kian mengganggu. Seseorang telah memasuki masjid tanpa permisi, aku mendengar langkahnya dengan sangat jelas. Dan kini ia benar – benar mengganggu sholatku. Berdiri di depanku, seseorang dengan rambut tak terawat, bertubuh gempal, berkulit legam, dan yang paling menganggu ia bertelanjang dada.

Ia menyeringai ke arahku dengan tatapan yang sangat mengganggu. Aku ingin muntah. Mana mungkin aku memuntahi masjid tua ini apalagi aku sedang kondisi sholat yang kini telah acak – acakan. Aku lebih tertarik kepada orang aneh itu dari pada tuhanku. Ia mengeluarkan parang dari balik punggungnya dan fokus kepada Muadz yang kini telah memimpinku sampai ke posisi duduk. Perasaan khawatir tiba – tiba saja hadir di benakku, apakah itu orang gilanya. Aku tidak tega untuk menceritakan kejadian setelahnya.

]]>
https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/07/30/muadzin-kampung-sebelah/feed/ 0
KALENG MASJID https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/07/27/kaleng-masjid/ https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/07/27/kaleng-masjid/#respond Wed, 27 Jul 2016 02:07:06 +0000 https://sendangagung-lamongan.desa.id/?p=1311 Syafi’ul Mubarok

(Dimuat di Radar Bojonegoro, Minggu 17 Juli 2016)

Aku benci kaleng. Bukan sembarang kaleng tentunya. Jangan tanya bila itu adalah kaleng bekas sarden yang memiliki bau amis walau ikannya sudah mati. Jangan juga menerka – nerka bahwa itu adalah kaleng bekas cat yang berlendir, sisa proyek pengecatan rumah lebaran kemarin. Tepatnya, yang tengah aku benci adalah kaleng masjid setidaknya semenjak kejadian itu lewat di depan bola mataku.

Jpeg

Hari jum’at, semua serba putih. Memang itu adalah sunnahnya ketika kaum muslimin diwajibkan untuk melaksanakan sidang jum’at dengan memakai pakaian serba putih. Dan harap dipastikan bahwa terdapat jahitan di sana – sininya agar tidak menyerupai pocong penunggu kuburan. Hari itu bukan hari jum’at biasa, karena marbot masjid bilang ada yang baru dengan suasana masjid kala itu.

Adzan berkumandang, sementara aku masih dalam perjalanan. Jangan tanya bagaimana penampilanku. Cukup religius walau tanpa sarung putih melilit kedua kakiku. Menurut pelajaran agama yang kudapat di bangku sekolahan, bahwa ketika mang Komar selaku muadzin melantunkan adzan maka seketika itu pula malaikat menutup catatan kebaikannya.

Itu menjadi sebuah pertanda buruk bagiku. Nama pemberian dari orang tuaku belum tercatat di buku amal hari jum’at milik para malaikat. Walaupun demikian, ternyata aku bukan satu – satunya manusia yang kalah cepat dengan lantunan adzan mang Komar. “Apa mereka tidak paham dengan pelajaran agama ?”, tanyaku dalam hati.

Khotib sudah mulai berbicara di depan tepat ketika aku melepas sandal. Bila orang lain menganggap bahwa ini adalah sebuah penghormatan, maka aku tidak setuju. Kita menghormati khotib ketika duduk, mendengarkan dengan seksama, bukan malah melepas sandal. Tapi bagaimana lagi, satu hal yang pasti aku sudah terlambat.

Aku bergegas melangkah masuk menatap barisan shaf yang berlubang layaknya jalanan Pantura pada umumnya. “Sudah terlambat”, pikirku dalam hati. Namun, aku masih saja berdiri tanpa melaksanakan penghormatan bagi masjid dengan dua rakaat. Bukan untuk menghitung berapa banyak malaikat yang tengah berada di masjid itu, melainkan hanya sekedar untuk membuktikan omongan marbot masjid.

“Ada yang baru, di masjid ketika jum’at besok”, seorang marbot berbicara kepadaku. Awalnya aku tidak peduli dengan omongan itu. Namun, ia tetap memaksa menjejalkan omongan yang sama itu beberapa kali hingga membuat gendang telingaku terganggu. Aku mengangguk pelan, walau banyak yang menganggap marbot itu agak kurang waras. Terakhir, ia memaksa semua percaya bahwa ia baru saja di datangi malaikat Jibril.

Benar – benar marbot gila. Itulah umpatan – umpatan yang aku dengar dari beberapa temanku yang kebetulan jengkel dengan orang itu. Aku pun sadar bahwa marbot itu agak nyeleneh omongannya semenjak malam ketika ia mengaku didatangi oleh malaikat Jibril. Bodohnya, aku masih mengikuti ucapan marbot itu.

Sejenak aku dianggap orang yang tidak terlalu penting, memandangi sekitar untuk mencari apa kira – kira yang baru. Aku mulai terganggu sementara keringat kegugupan mulai menetes di sela – sela kulitku. Hal ini akibat tatapan dari seluruh jama’ah yang menyuruhku duduk. Begitu pula dengan nada suara dari khotib, mencoba menasehatiku agar duduk. Satu hal yang pasti, aku benci marbot itu.

Beberapa saat setelah tipuan marbot berhasil, aku mulai bosan. Aku berani bertaruh bahwa marbot nyeleneh itu mungkin tengah tertawa hingga terkencing – kencing melihat tingkah tololku berkeliling masjid untuk mencari sesuatu yang baru. Sabar, aku mensugesti kepada diriku sendiri agar tetap sabar melawan marbot kurang ajar.

Aku mulai memandang sekitar, tidak terlalu menarik. Bapak – bapak yang mengantuk, anak kecil yang bergurau, hingga sajadah tanpa ada yang menempatinya. Namun, aku lebih tertarik untuk mengamati seorang laki – laki tua di ujung shaf yang tengah mengantuk. Dari raut wajahnya mungkin ia berusia sekitar 50 an dengan kulit kecoklatan. 2 objek pengamatan yang menarik, seorang tua yang mengantuk dan kaleng masjid.

Sebenarnya aku sendiri tak habis pikir, mengapa ada kaleng bekas tempat rempah – rempah di masjid ini. Dan itu bukan sekedar kaleng penghias masjid, melainkan sebuah wadah untuk menampung uang hasil shodaqoh dari jama’ah yang hadir. Lebih parah lagi, kotak amal itu tidak ada tutup untuk melindungi isinya. Pasti ini adalah ide sinting lainnya dari marbot yang sama, yang mengaku diajak bicara oleh malaikat Jibril.

Sesuatu yang tak terduga terjadi. Ketika khotib tengah membaca doa di akhir khutbah kedua, lelaki tua itu terbangun. Sembari melihat keadaan sekitar, ia memasukkan tangannya ke dalam kaleng itu. Tidak mungkin bila ia tengah bershodaqoh, karena sedari tadi kaleng itu berada di sampingnya. Pikiranku tengah penuh dengan skenario negatif mengenai lelaki tersebut. Kira – kira apa yang tengah dilakukannya.

Aku sedikit mengintip ke arahnya, mengingat posisiku yang berada 2 shaf di belakang posisinya ketika melancarkan aksi. Aku bersumpah serapah kepada jama’ah disampingnya yang justru tertidur. Ia mulai mengorek – ngorek tumpukan uang yang ada di dalamnya, seperti halnya mengais sampah. Bedanya, ini adalah sampah yang bernilai rupiah.

Aku ingin berteriak, membuat kegaduhan, dan menyadarkan semua orang ketika tangan dari lelaki itu dengan cekatan mulai memasukkan lembar demi lembar uang berwarna biru ke saku baju kokonya. Walaupun ini tindakan pencegahan yang baik, namun hal tersebut justru membakar pahala sholat jum’atku.

Jika aku berkoar – koar selepas sholat Jum’at, hanya akan menambah beban psikologis yang aku derita. Karena aku sepenuhnya berani bertaruh, tidak akan ada yang percaya omongan anak – anak–walaupun benar–yang menuduh seorang tua renta sebagai pencuri uang kotak amal. Aku membayangkan didatangi oleh marbot dengan senyum sangarnya, sembari membawa buah simalakama. Dan aku lebih memilih untuk diam.

Aku sepenuhnya berharap–dan mungkin ini menjadi harapan yang paling gila dalam hidupku–agar di dalam kaleng itu terdapat jebakan tikus. Atau bila tuhan tengah berbaik hati, izinkanlah di dalam kaleng kecil itu terdapat anak buaya. Setidaknya cukup untuk mematahkan jari – jari tua rentanya agar tidak menjamah rupiah tersebut.

Walaupun harapanku mengenai hal itu melebihi pengharapan lain dalam hidupku, aku sadar bahwa hal tersebut tidak akan pernah bisa terwujud. Rupiah demi rupiah terambil oleh tangan lusuh yang tidak seharusnya mengambil. Dan mungkin juga dibalik lelaki tua renta itu, terdapat sang dalang yaitu si marbot. Yang pasti, dari sini aku berani menyimpulkan, aku benci marbot sinting itu lengkap dengan kotak amal buatannya.

]]>
https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/07/27/kaleng-masjid/feed/ 0
SEBERKAS CAHAYA DI LANGIT https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/06/29/seberkas-cahaya-di-langit/ https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/06/29/seberkas-cahaya-di-langit/#respond Wed, 29 Jun 2016 07:45:46 +0000 https://sendangagung-lamongan.desa.id/?p=1282 Seberkas Cahaya di LangitOleh : Syafi’ul Mubarok

Langit sore memancarkan pesonanya, dengan aura kemerahan di ufuk barat, burung – burung terbang bebas terbawa oleh angin laut lepas. Desiran ombak ganas menerjang karang – karang yang berdiri tegas di samping batu – batu cadas. Di bawah rimbunnya suara knalpot kendaraan. Di atas trotoar panas, aku berdiri memandangi laut lepas.

Hanya aku sendiri dan juga ransel pribadi yang senantiasa menemani, menatap kosong ke arah langit dengan kaki – kaki yang masih terpijak di atas bumi. Sudah cukup kiranya orang – orang sekitar melemparkan tatapan aneh kepadaku. Kamera DSLR tergantung di leher, topi ber merk nike tertidur manja di atas kepala, dan jam rolex keluaran 90 an melingkar di pergelangan tangan.

Aku sendiri lebih mirip seorang turis yang tersesat di tengah samudera ketidak pedulian orang – orang pantai. Bagaimana tidak, semenjak adzan ashar berkumandang hingga petang menjelang, belum ada seorang pun yang peduli dengan manusia yang berdiri mematung di bibir pantai, yang tengah hilang dari rombongan. Orang – orang berkulit legam terus berlalu lalang di depanku, dengan memicingkan mata tanda tak peduli. Walaupun demikian, aku tetap mengulum senyum manis kepada mereka di tengah kesabaran hati yang kian menyiksa.

Waktu terus berlalu, ketika beberapa pemuda berseragam polisi lengkap dengan pistol di pinggang menenteng reklame berlatar biru di sisi lain jalan raya pantai utara yang penuh dengan kendaraan penyebab pemanasan global. Aku memandangi mereka dengan penasaran, di tengah timbunan asam laktat di sekujur kakiku yang membuatnya lemah untuk sekedar menopang bobot tubuhku.

Tak lain hal itu disebabkan karena aku terlalu lama berdiri menjadi patung pinggiran di samping jalan raya yang penuh dengan asa, asa kemenangan yang berharga bagi para pengendara yang terus mencari masalah dengan alam semesta. Mereka saling tersenyum bangga ketika reklame berlatar warna biru tersebut telah terpasang dan melambai – lambai ke semua orang yang ada di sana akibat tiupan angin pantai.

Reklame itu pun menarik perhatian bola mataku yang mulai mengamati setiap senti dari reklame tersebut. Latar biru dengan degradasi warna biru langit di tengahnya, bayangan masjid yang telah terdistorsi oleh sinar mentari sore di pojok bawah, tulisan bergaya font Lucida Hand Writing di atas dan juga Agency FB di bawah dengan ukuran 14, tulisan yang cukup rumit di baca dari kejauhan. Hanya saja terdapat tulisan yang cukup jelas di tengahnya, “…..selamat menunaikan ibadah puasa….”.

Rombongan mobil – mobil mewah melintas di jalan raya dengan saling beradu kecepatan untuk sampai ke tujuan. Di antara mereka terdapat beberapa mobil stasiun TV yang sangat mencolok akibat warna yang melekat di kulit mobil sangatlah ramai, dan penuh dengan warna. Aku pun memandang jam tanganku yang telah menunjuk angka 5, tanda keramaian akan segera muncul ke permukaan.

Ponselku yang sedari tadi tersangkut di balik saku celana, tiba – tiba bergetar dengan mengeluarkan suara yang cukup mengganggu. Aku pun cepat – cepat menyelipkan tangan di balik saku celana untuk mengambilnya. “Iya”, kataku dengan nada bertanya di saluran panggilan. “Kamu sudah sampai mana ?”, tanya temanku dari ujung telepon. “Sebentar aku mau cari petunjuk dulu”, ucapku singkat. Aku pun mencari hal – hal yang mampu melacak keberadaanku. Akhirnya aku menemukan sebuah objek pemandian yang di depannya terdapat tulisan nama tempat.

“Eh, saya ada di Paciran”, ucapku dengan nada yang datar, menyapu keheningan yang melanda di saluran panggilan kami. “Oh, berarti sudah dekat”, komentar temanku. “Jadi apa petunjuk selanjutnya ?”, tanyaku geram. “Coba kamu pandang ke laut, kira – kira 70 derajat dari arah barat”, kata temanku. “Ok, sudah terlaksana”, jawabku singkat dengan memandang siluet laut sore yang mempesona. “Kamu akan mendapati sebuah batu yang menjorok ke laut, yang menurut orang – orang sekitar disebut sebagai tanjung kodok, nah di sekitar situ tempatnya”, jelasnya.

Aku pun lantas melambaikan tangan kepada angkutan umum yang tengah melintas, dengan masih menerima panggilan dari temanku. “Ke tanjung kodok, Pak”, ucapku pelan. Pak supir hanya mengangguk paham dan mulai memacu kemudinya. “On The Way”, pesanku kepada teman yang ada di ujung saluran telepon.

***

Oh iya sampai lupa, aku adalah salah satu anggota tim hisab rukyat di bawah naungan kementrian agama Indonesia pastinya. Biasanya aku hanya duduk di balik layar komputer, menerima kabar dari teman – teman yang ada di lapangan perihal laporan hasil pengintaian hilal atau bulan baru. Namun kini, aku ditugaskan untuk bekerja di lapangan bersama teman – teman yang lain untuk mencari tahu keberadaan bulan baru.

Dan awalnya saya ditugaskan untuk mengamati hilal di daerah Jakarta, atau tepatnya di daerah pelabuhan Ratu. Namun seiring bergantinya pimpinan, beliau menempatkanku di pantai utara, di daerah Lamongan. Karena minim informasi, akhirnya aku kesasar juga akibat keterlambatan saat bergabung dengan teman – temanku yang lain.

***

Aku pun langsung melompat keluar dari angkutan umum ketika melihat temanku berdiri mematung di samping jalan, melayangkan pukulan persahabatan ke arahnya. Ia pun mendadak kesakitan dengan mengais iba di depanku, tetapi aku tahu bahwasanya ia hanya mencoba bermain telenovela, namun gagal.

“Ayo, teman – teman yang lain sudah bersiap – siap dan mulai membidik sasaran ke langit”, ucapnya dengan nada khawatir. Aku pun memberikan feed back positif kepadanya dengan berlari ke pintu gerbang, berusaha secepat mungkin mencapai tempat pengamatan. Dengan raut muka ke lelahan, serta nafas yang masih ngos – ngosan, aku pun telah sampai di tempat kerja, disambut oleh orang – orang yang tengah mencari – cari primadona awal bulan Qomariyah lewat teleskop yang berjejer rapi sepanjang horizon aku memandang.

Tanganku langsung membuka serta memporak – porandakan isi tas. Dan akhirnya aku menemukan apa yang dicari oleh pikiranku, laptop, note book, bulpoint, peta langit, serta penggaris. Aku hanya menanyakan kepada setiap regu pengintai tentang data – data mengenai bulan baru. Maklum, dalam tim ini aku bertugas sebagai seorang analis yang memberikan laporan full time kepada teman – teman lain di pusat.

Sesekali aku memandang ke ujung langit senja mencoba mencari dengan mata telanjang, tentang keberadaan bulan yang tengah berkonjungsi dari bulan tua menjadi bulan baru. Menurut data hasil hisab, bulan akan bertengger di atas ufuk selama kurang lebih 11 menit 43 detik, dengan posisi 4 derajat 48 menit 26,18 detik di selatan matahari dengan intensitas cahaya hanya sekitar 0,31 persen. Aku pun mulai mengarahkan bola mataku ke koordinat hasil hisab tersebut.

Tiba – tiba, suara bernada gembira terdengar dari tim kami, bahwasanya 3 orang telah melihat hilal dengan teleskopnya masing – masing. Selagi mereka di sumpah dengan Al – Qur’an oleh pengadilan agama setempat, aku pun mulai mengirimkan data – data serta laporan hasil pengamatan ke tim pusat, dengan di akhir laporan ku selipi emoticon smile tanda kerja tim kami telah selesai dengan diliputi kegembiraan.

Pekerjaan kami selalu booming dan menjadi perhatian seluruh umat muslim di Indonesia hanya ketika sedang berada pada pergantian bulan Sya’ban ke Ramadhan, Ramadhan ke Syawal, hingga bulan Dzulhijjah. Di luar itu, kami hanyalah seseorang yang hobinya memandang langit, berburu seberkas cahaya yang ada di langit ketika bulan Qomariyah akan berganti.

Di tengah kelegaan yang menghiasi tim kami, aku pun mengambil udara segar di senja hari, dengan semilir angin pantai yang kian menggoda. Sembari memandang ke ujung langit yang kemerahan, di tempat di mana hilal berada, aku pun berujar “Andai Rasulullah SAW tidak melihatmu, aku pun tidak akan sudi melihatmu walau untuk kesenangan belaka, wahai seberkas cahaya di langit”.

]]>
https://sendangagung-lamongan.desa.id/2016/06/29/seberkas-cahaya-di-langit/feed/ 0