Published On: Jum, Feb 10th, 2017

INDUSTRI LEPAS PANTAI DAN DWELLING TIME

dwelling time

                                     Foto :finance.detik.com

Oleh : Moh. Wahyu Syafi’ul Mubarok

Dwelling time adalah lama waktu tunggu yang diperlukan untuk bongkar muat di pelabuhan. Biasanya dialami oleh peti – peti kemas para pedagang dari geladak kapal angkut ke daratan pelabuhan. Lamanya masa tunggu kapal – kapal untuk bongkar muat di banyak pelabuhan di Indonesia membuat banyak investor maupun pemilik barang mengalami kerugian. Baik dari segi waktu tunggu, hingga biaya yang habis diperjalanan. Problem ini semakin diperburuk dengan terungkapnya mafia di pelabuhan beberapa waktu yang lalu oleh menteri perhubungan.

Terlepas dari keberadaan mafia pelabuhan, lama proses dwelling time diakibatkan oleh proses pre custome clearance. Atau dalam arti lain proses bongkar muat barang di pelabuhan memerlukan izin dari lembaga maupun instansi tertentu. Biasanya restu untuk bongkar muat didapat dari pejabat setingkat eselon I. Masalahnya antrian tersebut semakin mengular akibat dokumen yang ditandatangani setiap harinya berjumlah ribuan. Sehingga mau tidak mau mereka harus mengantri untuk mendapatkan izin.

Masalah – masalah tersebut tidak bisa ditinggalkan begitu saja mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang wawasan geopolitik sangat ditekankan. Laut bukan menjadi pemisah melainkan sebuah penghubung antara satu wilayah dengan wilayah yang lain menuju sebuah kesatuan NKRI. Apalagi program Nawacita yang dicanangkan oleh rezim Jokowi selaras dengan pembangunan tol laut guna memperbesar proses distribusi barang lewat jalur laut. Sehingga diperlukan sebuah solusi guna mengimbangi lamanya dwelling time agar pengusaha maupun investor pemilik barang tidak merugi.

Salah satu gagasan yang bisa diimplementasikan adalah dengan membangun Industri lepas pantai atau offshore Industry di seluruh pelabuhan yang ada di Indonesia. Hal ini lebih dikhususkan kepada barang – barang mentah yang nantinya akan diolah langsung di pelabuhan menjadi barang jadi. Sehingga waktu tunggu bongkar muat barang mampu diimbangi dengan efisiensi waktu pengolahan barang mentah. Jauh lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan cara yang konvensional berupa distribusi ke pabrik – pabrik yang jauh dari pelabuhan. Selain rugi waktu, juga ongkos kirim menjadi membengkak.

Namun, ada satu hal yang masih mengganjal dalam mengaplikasikan ide ini. Tentu hal tersebut berasal dari sarana dan prasana yang ada di pelabuhan itu sendiri. Dari banyaknya pelabuhan yang ada di Indonesia hanya beberapa saja yang layak untuk diterapkan industri lepas pantai. Hambatannya terletak pada model galangan kapal serta kedalaman pelabuhan. Semakin dalam pelabuhan maka semakin besar pula kemungkinan kapal – kapal besar dapat berlabuh. Karena rata – rata kedalaman pelabuhan di Indonesia hanya 9 meter berbeda dengan pelabuhan tetangga Malaysia dan Singapura yang mencapai 15,5 meter.

Pendalaman draft pelabuhan, akan membuat kapal dengan kapasitas besar mampu bersandar, sehingga tercapai skala ekonomi untuk menurunkan biaya bongkar muat maupun biaya yang habis karena dwelling time. Persemakmuran ekonomi bangsa dapat tercapai apabila potensi laut baik dari segi sumber daya alam maupun ekonomi dapat dimaksimalkan. Industri lepas pantai barangkali menjadi sebuah solusi dalam mengimbangi banyaknya biaya yang hangus akibat dwelling time maupun efisiensi pelabuhan itu sendiri dalam membangun perekonomian bangsa.

About the Author

-

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>