BUKU TUA DI BALIK JENDELA

Syafi’ul Mubarok
Entah sudah berapa lama buku itu ada di jendela. Aku yang punya kamar hanya tahu beberapa hari ini saja. Buku kusam nan jelek, yang hampir bersatu dengan gorden jendela coklat penuh debu seakan bersembunyi dariku, dari hingar bingar dunia modern. Ia hanya memalingkan muka dariku ketika kupandang dari sudut ruangan kamarku. Tanpa ada satu pun keberanian dariku untuk mengambilnya dan membacanya seperti layaknya buku – buku yang lain.
“Mungkin buku tersebut memiliki sejarah yang panjang”, gumamku dalam hati. Sinar mentari sore menghantamku dari luar jendela menembus kaca dan menyadarkan lamunanku. Masih saja tangan ini kaku jika sudah berurusan dengan buku tersebut. Pikiranku beku ketika memikirkan apa yang ada di dalamnya dan apa yang terjadi setelahnya. Semakin berjalannya detik – detik kehidupan membuat suasana semakin mencekam
Pantatku mulai kram akibat terlalu lama duduk di kursi belajarku, sehingga mengharuskanku untuk keluar dan mengambil sedikit peregangan otot – otot dengan cara senam. Aku pun berdiri dari kursi dan melangkahkan kaki keluar menuju pekarangan rumah yang berpendar akibat sinar mentari sore. Ya waktu itu aku melaksanakan beberapa senam kecil berharap efek kram ototku hilang dari sekujur tubuhku.
***
Pada siang yang terik, aku tiba telah tiba dari sekolahan dengan keadaan yang kecapekan. Selain jarak yang ditempuh oleh kedua tungkai kakiku cukup jauh, juga karena sengatan sinar mentari siang yang membakar kulit karena kita tahu kulit manusia sangatlah sensitif ketika harus berurusan dengan sinar UV apalagi jika tidak ada perlindungan dari lapisan ozon di Ionosfer yang sudah mulai menghilang.
“Assalamu’alaikum, Ibu”, ucapku ketika melewati pintu depan rumah yang terbuka lebar. Tidak ada jawaban di sana. Ku langkahkan kaki masuk menyusuri ruangan tamu, keluarga, hingga dapur tempat yang biasa dijadikan Ibu ku sebagai tempat mencari inspirasi. Foto – foto keluarga ku yang terpampang di dinding seakan memandangku aneh. Aku tidak memperdulikan hal tersebut dan terus menuju ke dapur.
“Ibu”, panggilku dengan menyeka gorden pembatas antara dapur dan ruang keluarga. Asap – asap putih mengepul di ruangan menyapaku panas dengan di ikuti suara ibu yang tak kalah oleh tebalnya asap yang dihasilkan akibat pembakaran kayu, “Iya ada apa?”. Mendengar jawaban itu badanku yang capek serasa lega dan melangkah keluar dari dapur untuk menghindari asap yang menempel di baju putih abu – abu yang ku pakai.
Aku melemparkan tas punggungku dan menjatuhkan diri ke atas kasur untuk beberapa saat. Ada suatu kelegaan yang hadir, beristirahat sejenak melepas penat akibat beban kehidupan yang sudah seharian dipikul oleh punggungku yang rapuh ini. Tak terasa aku sudah memasuki alam bawah sadar dengan masih berbusanakan seragam sekolah yang belum aku lepas. Tak lama berselang ibuku biasanya membangunkanku seraya berkata, “Makan Dulu sana”.
Itulah aku, walaupun sudah berkali – kali tubuhku digerak – gerakkan oleh tangan dari ibuku, aku tetap saja tidak bangun. Jika tersadar hanya untuk beberapa saat saja kemudian kembali tertidur lagi. Namun entah mengapa hari itu cara membangunkan ibuku berbeda dari biasanya. Memang cara ini sangat ampuh karena tanpa kusadari aku langsung terbangun denga perasaan panas di sekitara mata. Di dalam lubuk hati yang paling dalam, aku sedikit banyak menyimpan dongkol kepada ibuku waktu itu, namun aku tidak berani mengeluarkannya sehingga ibuku tahu. Cukup aku dan sang pencipta yang tahu. Karena bisa saja nanti berujung pada mendurhakai orang tua.
Setelah mengusut, mengadakan penelitian, dan merekonstruksi kasus, akhirnya aku menemukan cara bagaimana ia membangunkanku dengan cara yang sangat cepat. Ternyata ia menggunakan balsam kemudia mengusapnya di sekitaran mataku, hal ini berhasil kuketahui setelah panas di mataku perlahan – lahan berubah menjadi memar kehitaman. Itulah reaksi zat penyusun utama pada balsam yaitu metil salisilat terhadap kulit secara terus menerus, sedangkan memar pada kulit disebabkan oleh pecahnya ikatan rangkap 2 zat salisilat oleh alkalimetri sehingga yang terjadi adalah warna hitam di kulit bak bekas tonjokan yang memar.
Seperti biasa, ia hanya tersenyum manis kepadaku. Aku hanya bisa terbangun dengan perasaan kacau. Tanpa kusengaja, ketika proses menegakkan tubuhku aku memandang sebuah buku bersampul hitam kelabu tersembuyi rapi di bawah jendela kusam kamarku. Hormon Deuretik di otakku seakan meningkat, membuatku lebih tersadar dari biasanya. Tanpa kusadar, neuron motorik yang terletak di mulut dan tanganku otomatis bekerja. Impuls saraf yang ada di tubuhku tidak melewati sistem saraf pusat (otak), melainkan langsung menuju tulang belakang. Hal ini membuatku terkaget buka main, begitu juga nampak pada ibuku melihat apa yang ku lakukan.
Aku mengangkat tangan dan jari telunjukku menunjuk ke tempat di bawah jendela yang tertutup oleh gorden coklat nan kusam. “Bu, itu buku apa?”, tanyaku dengan reflek. Ibuku hanya memandangiku senyap, tanpa berkata apapun ia melangkah pergi keluar dari kamar sederhanaku dan meninggalkan tanda tanya besar bagiku. Itulah saat dimana pertama kali aku bertemu dengan buku itu. Buku kusam nan jelek yang bersembunyi di balik tirai jendela, yang membuatku penasaran sepanjang waktu.
***
Siluet jingga memancar di ufuk barat cakrawala membuat mataku takjub akan keindahannya. Aku telah selesai dengan olah raga kecil yang telah ku lakukan untuk meredakan stress otot dan juga suasana mencekam di bilik kecilku tadi. Walaupun hanya sebentar, tubuhku bak sungai yang telah terbanjiri oleh keringat yang mengalir dengan derasnya setiap detiknya. Sembari duduk di serambi dan memandang alam sekitar, aku mulai berfikir untuk menanyakan suatu hal yang membuatku ketakutan setiap waktu di dalam kamar pribadiku, yaitu buku kusam yang bersembunyi di balik tirai coklat nan kusam.
Aku pun melangkahka kakiku masuk meninggalkan rona jingga yang kini telah berganti menjadi merah lembut khas suasana Ghurub atau akan maghrib. Di dalam aku menjumpai ibuku yang telah berpakaian mukena dengan sajadah di tangan, pertanda bahwa ia bersiap – siap untuk sholat jama’ah. Aku duduk disampingnya kemudian bertanya perihal buku tua tersebut. Awalnya ia kaget dan terheran kepadaku, namun akhirnya ia menjelaskanku dengan panjang lebar tentang buku tua yang ada di kamarku.
“Bu, buku apa yang ada di kamarku ?”, tanyaku kepadanya. Dengan ekspresi yang sama ketika aku tanyakan kepadanya pertama kali waktu itu, ia masih saja menjawab menggunakan diam seribu bahasa. “Bu, aku mohon ceritakan perihal buku itu kepadaku, karena hari – hari ini buku tersebut membuatku takut”, rayuku kepadanya. Dengan tarikan nafas yang panjang dari hidungnya ia pun menjelaskannya kepadaku.
“Buku itu sudah berusia lama sekali, kira – kira hampir 14 abad lah”, ia berhenti berbicara dengan bernafas lebih kencang dari biasanya. “Sudah kuduga”, gumamku dalam hati. Ia pun meneruskan penjelasannya, “Buku tersebut merupakan buku peninggalaka kerajaan singosari yang mana di wariskan turun temurun hingga diturunkan kepada almarhum ayahmu”. Mulai menarik kurasa cerita dari ibuku. “Sengaja ayahmu menyimpannya di suatu tempat di kamarmu agar suatu saat nati engkau bisa melihatnya, karena menurut pesan dari almarhum ayahmu buku itu hanya boleh dibaca dan oleh seseorang keturunan dinasti kerajaan singosari”, jelasnya padaku.
“Jadi apakah aku boleh membacanya ?”, tanyaku padanya dengan berharap – harap cemas. Ibuku hanya tersenyum kepadaku sembari mengangguk tanda setuju. Iqomah telah berkumandang dan ibuku izin kepadaku untuk berjama’ah di masjid, aku pun hanya meng iyakan apa yang ia bicaraka kepadaku karena otakku hanya memikirkan perihal buku tersebut.
Dengan perasaan gembira bercampur cemas, aku melangkah cepat menuju kamar, menutup pintu, dan berjalan menuju jendela bergorden coklat kusam di ujung kamar. Tanganku menyentuh permukaan buku tersebut yang penuh dengan debu, sehingga aku pun perlu beberapa menit untuk membersihkannya agar tampak bersih. Aku kemudian duduk di atas kasur dengan buku yang sudah menempel di tangan. Lampu ruangan kala itu menjadi saksi bisu, memandangku hening ketika aku membuka buku kusam milik dinasti singosari tersebut.
Dengan tangan bergetar dan hati tak tenang, aku pun mulai membuka halaman pertama. Kudapati tulisan yang mana setelah aku amati untuk beberapa waktu, aku akhirnya paham bahwa itu adalah aksara jawa. Di ujung halaman tertulis angka jawa yang bertuliskan 700 M. “Mungkin itu adalah tahun di mana kitab itu ditulis”, gumamku dalam hati. Sedikit banyak aku bisa membaca kata – kata di buku kusam tersebut, karena kebetulan aku sangat suka dengan pelajaran bahasa jawa apalagi untuk aksaranya.
Waktu pun terus berlalu, senada dengan jari telunjukku serta mataku yang padu untuk menelurusi kitab yang telah berusia 14 abad lebih, semakin ku baca semakin takjub aku dibuatnya. Kebanyakan adalah cerita tentang epos – epos besar yang ternyata kebanyakan belum terungkap oleh sejarah, diantaranya tentang misteri pulau jawa, legenda nyi roro kidul, hingga sesuatu yang ada di balik tingginya gunung semeru di bromo tengger.
Menurutku, yang paling menarik dari beberapa epos tersebut adalah sesuatu yang terdapat di balik gunung semeru, yang mana telah membuatku tercengang. “Mungkin ini adalah penyebab mengapa gunung semeru di cap sebagai gunung yang penuh mistik nan legendaris”, gumamku dalam hati. Namun sayang, aku tidak bisa menceritakannya kepada pembaca perihal makhluk tanggir tersebut, karena pembaca semua bukan keturunan dari dinasti Singosari.


















