Published On: Rab, Jul 27th, 2016

KALENG MASJID

Syafi’ul Mubarok

(Dimuat di Radar Bojonegoro, Minggu 17 Juli 2016)

Aku benci kaleng. Bukan sembarang kaleng tentunya. Jangan tanya bila itu adalah kaleng bekas sarden yang memiliki bau amis walau ikannya sudah mati. Jangan juga menerka – nerka bahwa itu adalah kaleng bekas cat yang berlendir, sisa proyek pengecatan rumah lebaran kemarin. Tepatnya, yang tengah aku benci adalah kaleng masjid setidaknya semenjak kejadian itu lewat di depan bola mataku.

Jpeg

Hari jum’at, semua serba putih. Memang itu adalah sunnahnya ketika kaum muslimin diwajibkan untuk melaksanakan sidang jum’at dengan memakai pakaian serba putih. Dan harap dipastikan bahwa terdapat jahitan di sana – sininya agar tidak menyerupai pocong penunggu kuburan. Hari itu bukan hari jum’at biasa, karena marbot masjid bilang ada yang baru dengan suasana masjid kala itu.

Adzan berkumandang, sementara aku masih dalam perjalanan. Jangan tanya bagaimana penampilanku. Cukup religius walau tanpa sarung putih melilit kedua kakiku. Menurut pelajaran agama yang kudapat di bangku sekolahan, bahwa ketika mang Komar selaku muadzin melantunkan adzan maka seketika itu pula malaikat menutup catatan kebaikannya.

Itu menjadi sebuah pertanda buruk bagiku. Nama pemberian dari orang tuaku belum tercatat di buku amal hari jum’at milik para malaikat. Walaupun demikian, ternyata aku bukan satu – satunya manusia yang kalah cepat dengan lantunan adzan mang Komar. “Apa mereka tidak paham dengan pelajaran agama ?”, tanyaku dalam hati.

Khotib sudah mulai berbicara di depan tepat ketika aku melepas sandal. Bila orang lain menganggap bahwa ini adalah sebuah penghormatan, maka aku tidak setuju. Kita menghormati khotib ketika duduk, mendengarkan dengan seksama, bukan malah melepas sandal. Tapi bagaimana lagi, satu hal yang pasti aku sudah terlambat.

Aku bergegas melangkah masuk menatap barisan shaf yang berlubang layaknya jalanan Pantura pada umumnya. “Sudah terlambat”, pikirku dalam hati. Namun, aku masih saja berdiri tanpa melaksanakan penghormatan bagi masjid dengan dua rakaat. Bukan untuk menghitung berapa banyak malaikat yang tengah berada di masjid itu, melainkan hanya sekedar untuk membuktikan omongan marbot masjid.

“Ada yang baru, di masjid ketika jum’at besok”, seorang marbot berbicara kepadaku. Awalnya aku tidak peduli dengan omongan itu. Namun, ia tetap memaksa menjejalkan omongan yang sama itu beberapa kali hingga membuat gendang telingaku terganggu. Aku mengangguk pelan, walau banyak yang menganggap marbot itu agak kurang waras. Terakhir, ia memaksa semua percaya bahwa ia baru saja di datangi malaikat Jibril.

Benar – benar marbot gila. Itulah umpatan – umpatan yang aku dengar dari beberapa temanku yang kebetulan jengkel dengan orang itu. Aku pun sadar bahwa marbot itu agak nyeleneh omongannya semenjak malam ketika ia mengaku didatangi oleh malaikat Jibril. Bodohnya, aku masih mengikuti ucapan marbot itu.

Sejenak aku dianggap orang yang tidak terlalu penting, memandangi sekitar untuk mencari apa kira – kira yang baru. Aku mulai terganggu sementara keringat kegugupan mulai menetes di sela – sela kulitku. Hal ini akibat tatapan dari seluruh jama’ah yang menyuruhku duduk. Begitu pula dengan nada suara dari khotib, mencoba menasehatiku agar duduk. Satu hal yang pasti, aku benci marbot itu.

Beberapa saat setelah tipuan marbot berhasil, aku mulai bosan. Aku berani bertaruh bahwa marbot nyeleneh itu mungkin tengah tertawa hingga terkencing – kencing melihat tingkah tololku berkeliling masjid untuk mencari sesuatu yang baru. Sabar, aku mensugesti kepada diriku sendiri agar tetap sabar melawan marbot kurang ajar.

Aku mulai memandang sekitar, tidak terlalu menarik. Bapak – bapak yang mengantuk, anak kecil yang bergurau, hingga sajadah tanpa ada yang menempatinya. Namun, aku lebih tertarik untuk mengamati seorang laki – laki tua di ujung shaf yang tengah mengantuk. Dari raut wajahnya mungkin ia berusia sekitar 50 an dengan kulit kecoklatan. 2 objek pengamatan yang menarik, seorang tua yang mengantuk dan kaleng masjid.

Sebenarnya aku sendiri tak habis pikir, mengapa ada kaleng bekas tempat rempah – rempah di masjid ini. Dan itu bukan sekedar kaleng penghias masjid, melainkan sebuah wadah untuk menampung uang hasil shodaqoh dari jama’ah yang hadir. Lebih parah lagi, kotak amal itu tidak ada tutup untuk melindungi isinya. Pasti ini adalah ide sinting lainnya dari marbot yang sama, yang mengaku diajak bicara oleh malaikat Jibril.

Sesuatu yang tak terduga terjadi. Ketika khotib tengah membaca doa di akhir khutbah kedua, lelaki tua itu terbangun. Sembari melihat keadaan sekitar, ia memasukkan tangannya ke dalam kaleng itu. Tidak mungkin bila ia tengah bershodaqoh, karena sedari tadi kaleng itu berada di sampingnya. Pikiranku tengah penuh dengan skenario negatif mengenai lelaki tersebut. Kira – kira apa yang tengah dilakukannya.

Aku sedikit mengintip ke arahnya, mengingat posisiku yang berada 2 shaf di belakang posisinya ketika melancarkan aksi. Aku bersumpah serapah kepada jama’ah disampingnya yang justru tertidur. Ia mulai mengorek – ngorek tumpukan uang yang ada di dalamnya, seperti halnya mengais sampah. Bedanya, ini adalah sampah yang bernilai rupiah.

Aku ingin berteriak, membuat kegaduhan, dan menyadarkan semua orang ketika tangan dari lelaki itu dengan cekatan mulai memasukkan lembar demi lembar uang berwarna biru ke saku baju kokonya. Walaupun ini tindakan pencegahan yang baik, namun hal tersebut justru membakar pahala sholat jum’atku.

Jika aku berkoar – koar selepas sholat Jum’at, hanya akan menambah beban psikologis yang aku derita. Karena aku sepenuhnya berani bertaruh, tidak akan ada yang percaya omongan anak – anak–walaupun benar–yang menuduh seorang tua renta sebagai pencuri uang kotak amal. Aku membayangkan didatangi oleh marbot dengan senyum sangarnya, sembari membawa buah simalakama. Dan aku lebih memilih untuk diam.

Aku sepenuhnya berharap–dan mungkin ini menjadi harapan yang paling gila dalam hidupku–agar di dalam kaleng itu terdapat jebakan tikus. Atau bila tuhan tengah berbaik hati, izinkanlah di dalam kaleng kecil itu terdapat anak buaya. Setidaknya cukup untuk mematahkan jari – jari tua rentanya agar tidak menjamah rupiah tersebut.

Walaupun harapanku mengenai hal itu melebihi pengharapan lain dalam hidupku, aku sadar bahwa hal tersebut tidak akan pernah bisa terwujud. Rupiah demi rupiah terambil oleh tangan lusuh yang tidak seharusnya mengambil. Dan mungkin juga dibalik lelaki tua renta itu, terdapat sang dalang yaitu si marbot. Yang pasti, dari sini aku berani menyimpulkan, aku benci marbot sinting itu lengkap dengan kotak amal buatannya.

About the Author

-

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>