Published On: Sen, Jul 25th, 2016

MASA ORIENTASI YANG TAK BERARTI

Masa Orientasi yang Tak BerartiOleh : M. Wahyu Syafi’ul Mubarok

Ketika musim ajaran baru telah dimulai, maka tak sedikit dari para pelajar mulai kembali ke aktivitas yang telah lama rehat yaitu belajar. Dan pada momentum itu, para pelajar dihadapkan untuk kembali membuka buku untuk kelas yang baru. Sedangkan bagi para murid baru, masa itu adalah masa untuk mengenal sekolah baru.

Hanya saja di Indonesia terdapat keanehan yang hingga sekarang tak berujung. Untuk mengenalkan sekolah kepada siswa yang baru cenderung menggunakan istilah MOS atau masa orientasi siswa. Selain itu juga ada istilah lainnya yang relevan seperti MOPD atau masa orientasi peserta didik baru, atau MPLS yaitu masa pengenalan lingkungan sekolah.

Event – event seperti itu biasanya ditemui di lingkungan anak – anak SMP hingga para mahasiswa di perguruan tinggi yang lebih dikenal dengan sebutan Ospek. Tujuan dari acara – acara yang tersebut di atas adalah sama yaitu ingin mengenalkan kepada peserta didik baru perihal seluk beluk dari sekolahan, karena tak kenal maka tak sayang.

Namun sayang, ditengah tujuan yang mulia tersebut sering kita jumpai dan bahkan kini sudah dijadikan sebagai sebuah rutinitas tahunan bahwa masa orientasi sering dijadikan ajang sebagai balas dendam para senior. Jelas hal tersebut sangatlah riskan karena kita tahu bahwa dewan guru hanya mengawasi dari kejauhan sedangkan yang mengurusi adalah organisasi intra sekolah yang dipegang oleh senior – seniornya.

Hal tersebut membuat banyak kalangan geram, karena tingkah senior yang sudah diluar ambang batas kemanusian. Perploncoan (menyuruh peserta didik baru memakai pakaian yang tidak jelas) menjadi jalan utama untuk memuaskan dahaga balas dendam. Karena kebanyakan motif yang sering ditemui saat masa orientasi adalah balas dendam senior terhadap junior akibat perilaku senior terdahulu kepadanya.

Sebenarnya berbagai macam masa orientasi bercikal bakal sejak dahulu kala tepatnya di zaman belanda yang masih menjajah nusantara. Karena sejarah kelam masa orientasi dimulai dari sebuah sekolah yang bernama STOVIA atau sekolah pendidikan dokter hindia belanda. Pada saat itu mereka yang baru masuk harus menjadi “anak buah” si kakak kelas dengan kegiatan seperti membersihkan ruangan senior.

Hal itu pun terus berlanjut pada masa Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942) (STOVIA dan GHS sekarang menjadi FKUI Salemba), pada masa GHS ini kegiatan itu menjadi lebih formal meskipun masih bersifat sukarela. Istilah yang digunakan pada saat itu adalah ontgroening atau “membuat tidak hijau lagi”, jadi proses ini dimaksudkan untuk mendewasakan si anak baru itu.

Ketika masa kemerdekaan telah menyapa, sistem ini pun masih terus berlanjut dan bahkan bisa dibilang lebih buruk. Jika di zaman Hindia Belanda para senior hanya memperlakukan peserta didik baru sebagai sebuah pembantu tambahan, berbeda dengan di zaman kemerdekaan ketika para senior menjadi seorang dewa dengan menambahkan kegiatan se enak hatinya sendiri.

Sehingga hal tersebut pun menjadikan peserta didik baru memiliki mimpi buruk di hari pertama sekolah. Karena jelas mereka datang ke sekolah untuk belajar bukan malah dipermalukan. Dengan senjata berbungkus penggemblengan mental, para senior berhasil menindas para junior dengan jalan mempermalukannya, baik dengan pakaian yang dipakai hingga kegiatan yang harus dijalani.

Mata rantai ini terus berputar layaknya siklus hidrologi pada air yang tidak akan bisa diputus kecuali dengan menghilangkan pangkalnya. Sebenarnya tujuan awal dari acara ini sangatlah baik, hanya saja pangkal permasalahannya terletak pada perilaku senior itu sendiri. Para senior yang seharusnya memberikan contoh dan teladan yang baik bagi adik – adiknya malah menanam benih kedengkian di dalam hati adik – adik kelas hingga membuahkan dendam yang sulit untuk dipadamkan.

Panjang umur para pemberontak

Seperti yang telah saya jelaskan di atas, bahwasanya setiap peserta didik baru pasti memandang para senior dengan aneh. Ketika melihat senior yang seharusnya menjadi contoh dan panutan yang baik, malah memberikannya kado tak mengenakkan hati di awal masuk sekolah.

Mereka para senior berlagak menjadi seorang bos, menyuruh se enaknya, dan membentak semaunya. Hal tersebut menjadikan senior seakan – akan belajar menjadi seorang bos besar dengan segala tabiat buruk yang mengiringinya, sedangkan bagi peserta didik baru menjadikannya momentum untuk belajar menjadi seorang pemberontak.

Memberontak terhadap senior yang telah mempermalukannya sepanjang waktu, yang telah melakukan perbuatan di luar batas kewajaran. Jika seorang bos dan juga para pemberontak bersatu, jelas menjadikannya sebuah akademi mafia bukan malah kelompok belajar yang dicita – cita kan.

Hal – hal di atas sebenarnya juga ikut andil mencoreng citra para senior di depan adik – adik kelasnya. Hanya saja hal tersebut tidak pernah disadari oleh para senior akibat kabut kedengkian berbalutkan balas dendam masih menyelimuti otaknya yang kalut akan keadaan. Mereka akan sadar ketika disaat sekolah formal para junior tidak respek dan seakan ingin melawan apapun yang tengah dilakukan senior.

Sungguh hal demikian membuat esensi dari kegiatan masa orintasi siswa baru menjadi kian tak berarti. Manajemen kegiatan yang buruk, susunan panitia yang asal – asalan, hingga perilaku senior yang tak mengenal sopan santun menjadi kerikil – kerikil besar penghambat kegiatan tersebut. Tawa gembira para senior seakan menjadi tawa para penjajah di zaman Hindia Belanda. Sedangkan senyum kecut para junior seakan menjadi senyum penuh dendam tak berkesudahan.

Menanggapi hal tersebut, banyak kalangan yang ingin menghapuskan saja masa orientasi yang tidak jelas untuk siapa, dan tidak jelas dasarnya apa. Menteri pendidikan nasional pun juga ikut geram dan mewanti – wanti setiap sekolahan agar memanusiakan seorang manusia, menghindari perploncoan kepada murid baru. Karena mereka datang ke sekolah ingin memperoleh akhlaq dan tentunya ilmu yang baik, bukan malah ingin dipermalukan.

Era Baru Pendidikan Indonesia

Jika kita melihat dan mengamati lebih jauh mengenai sistem dan lingkungan sekolahan yang ada di negara Indonesia, maka kita akan menemukan dua hal yang sangat ditakuti oleh para pelajar Indonesia. Yang pertama adalah masa Ujian Nasional dan juga masa orientasi atau MOS.

Dan dengan bergantinya tonggak kepemimpinan menteri pendidikan kebudayaan yang sekarang diambil alih oleh Anies Baswedan, Pendidikan Indonesia telah menuju ke era yang lebih baik. Ketakutan pertama pelajar Indonesia mengenai kelulusan UN telah mampu di atasi dengan baik. Dengan dikeluarkannya regulasi baru bahwa UN hanya sebatas evaluasi akhir belajar sekolah. Dan ini sangat berdampak pada mental pelajar untuk tidak berbuat kecurangan selama ujian berlangsung.

Mulai tahun ini lewat Permendikbud no. 18 tahun 2016 mengenai aturan baru masa pengenalan lingkungan sekolah atau MPLS, telah mengatasi ketakutan pelajar yang kedua. Tidak ada lagi senior junior pada masa awal sekolah, tidak ada lagi perploncoan, dan tidak ada lagi akademi mafia di masa orientasi sekolah – sekolah di seluruh Indonesia.

Bila didapati sekolahan masih tidak memanusiakan peserta didik yang baru dengan menggelar MPLS yang berbasis perploncoan, maka sekolahan tersebut akan terkena sanksi dan yang terburuka adalah kepala sekolah akan dipecat dari jabatannya. Semoga dengan adanya kebijakan yang baru ini mampu membawa pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik.

About the Author

-

Leave a comment

XHTML: You can use these html tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>