SEBERKAS CAHAYA DI LANGIT
Oleh : Syafi’ul Mubarok
Langit sore memancarkan pesonanya, dengan aura kemerahan di ufuk barat, burung – burung terbang bebas terbawa oleh angin laut lepas. Desiran ombak ganas menerjang karang – karang yang berdiri tegas di samping batu – batu cadas. Di bawah rimbunnya suara knalpot kendaraan. Di atas trotoar panas, aku berdiri memandangi laut lepas.
Hanya aku sendiri dan juga ransel pribadi yang senantiasa menemani, menatap kosong ke arah langit dengan kaki – kaki yang masih terpijak di atas bumi. Sudah cukup kiranya orang – orang sekitar melemparkan tatapan aneh kepadaku. Kamera DSLR tergantung di leher, topi ber merk nike tertidur manja di atas kepala, dan jam rolex keluaran 90 an melingkar di pergelangan tangan.
Aku sendiri lebih mirip seorang turis yang tersesat di tengah samudera ketidak pedulian orang – orang pantai. Bagaimana tidak, semenjak adzan ashar berkumandang hingga petang menjelang, belum ada seorang pun yang peduli dengan manusia yang berdiri mematung di bibir pantai, yang tengah hilang dari rombongan. Orang – orang berkulit legam terus berlalu lalang di depanku, dengan memicingkan mata tanda tak peduli. Walaupun demikian, aku tetap mengulum senyum manis kepada mereka di tengah kesabaran hati yang kian menyiksa.
Waktu terus berlalu, ketika beberapa pemuda berseragam polisi lengkap dengan pistol di pinggang menenteng reklame berlatar biru di sisi lain jalan raya pantai utara yang penuh dengan kendaraan penyebab pemanasan global. Aku memandangi mereka dengan penasaran, di tengah timbunan asam laktat di sekujur kakiku yang membuatnya lemah untuk sekedar menopang bobot tubuhku.
Tak lain hal itu disebabkan karena aku terlalu lama berdiri menjadi patung pinggiran di samping jalan raya yang penuh dengan asa, asa kemenangan yang berharga bagi para pengendara yang terus mencari masalah dengan alam semesta. Mereka saling tersenyum bangga ketika reklame berlatar warna biru tersebut telah terpasang dan melambai – lambai ke semua orang yang ada di sana akibat tiupan angin pantai.
Reklame itu pun menarik perhatian bola mataku yang mulai mengamati setiap senti dari reklame tersebut. Latar biru dengan degradasi warna biru langit di tengahnya, bayangan masjid yang telah terdistorsi oleh sinar mentari sore di pojok bawah, tulisan bergaya font Lucida Hand Writing di atas dan juga Agency FB di bawah dengan ukuran 14, tulisan yang cukup rumit di baca dari kejauhan. Hanya saja terdapat tulisan yang cukup jelas di tengahnya, “…..selamat menunaikan ibadah puasa….”.
Rombongan mobil – mobil mewah melintas di jalan raya dengan saling beradu kecepatan untuk sampai ke tujuan. Di antara mereka terdapat beberapa mobil stasiun TV yang sangat mencolok akibat warna yang melekat di kulit mobil sangatlah ramai, dan penuh dengan warna. Aku pun memandang jam tanganku yang telah menunjuk angka 5, tanda keramaian akan segera muncul ke permukaan.
Ponselku yang sedari tadi tersangkut di balik saku celana, tiba – tiba bergetar dengan mengeluarkan suara yang cukup mengganggu. Aku pun cepat – cepat menyelipkan tangan di balik saku celana untuk mengambilnya. “Iya”, kataku dengan nada bertanya di saluran panggilan. “Kamu sudah sampai mana ?”, tanya temanku dari ujung telepon. “Sebentar aku mau cari petunjuk dulu”, ucapku singkat. Aku pun mencari hal – hal yang mampu melacak keberadaanku. Akhirnya aku menemukan sebuah objek pemandian yang di depannya terdapat tulisan nama tempat.
“Eh, saya ada di Paciran”, ucapku dengan nada yang datar, menyapu keheningan yang melanda di saluran panggilan kami. “Oh, berarti sudah dekat”, komentar temanku. “Jadi apa petunjuk selanjutnya ?”, tanyaku geram. “Coba kamu pandang ke laut, kira – kira 70 derajat dari arah barat”, kata temanku. “Ok, sudah terlaksana”, jawabku singkat dengan memandang siluet laut sore yang mempesona. “Kamu akan mendapati sebuah batu yang menjorok ke laut, yang menurut orang – orang sekitar disebut sebagai tanjung kodok, nah di sekitar situ tempatnya”, jelasnya.
Aku pun lantas melambaikan tangan kepada angkutan umum yang tengah melintas, dengan masih menerima panggilan dari temanku. “Ke tanjung kodok, Pak”, ucapku pelan. Pak supir hanya mengangguk paham dan mulai memacu kemudinya. “On The Way”, pesanku kepada teman yang ada di ujung saluran telepon.
***
Oh iya sampai lupa, aku adalah salah satu anggota tim hisab rukyat di bawah naungan kementrian agama Indonesia pastinya. Biasanya aku hanya duduk di balik layar komputer, menerima kabar dari teman – teman yang ada di lapangan perihal laporan hasil pengintaian hilal atau bulan baru. Namun kini, aku ditugaskan untuk bekerja di lapangan bersama teman – teman yang lain untuk mencari tahu keberadaan bulan baru.
Dan awalnya saya ditugaskan untuk mengamati hilal di daerah Jakarta, atau tepatnya di daerah pelabuhan Ratu. Namun seiring bergantinya pimpinan, beliau menempatkanku di pantai utara, di daerah Lamongan. Karena minim informasi, akhirnya aku kesasar juga akibat keterlambatan saat bergabung dengan teman – temanku yang lain.
***
Aku pun langsung melompat keluar dari angkutan umum ketika melihat temanku berdiri mematung di samping jalan, melayangkan pukulan persahabatan ke arahnya. Ia pun mendadak kesakitan dengan mengais iba di depanku, tetapi aku tahu bahwasanya ia hanya mencoba bermain telenovela, namun gagal.
“Ayo, teman – teman yang lain sudah bersiap – siap dan mulai membidik sasaran ke langit”, ucapnya dengan nada khawatir. Aku pun memberikan feed back positif kepadanya dengan berlari ke pintu gerbang, berusaha secepat mungkin mencapai tempat pengamatan. Dengan raut muka ke lelahan, serta nafas yang masih ngos – ngosan, aku pun telah sampai di tempat kerja, disambut oleh orang – orang yang tengah mencari – cari primadona awal bulan Qomariyah lewat teleskop yang berjejer rapi sepanjang horizon aku memandang.
Tanganku langsung membuka serta memporak – porandakan isi tas. Dan akhirnya aku menemukan apa yang dicari oleh pikiranku, laptop, note book, bulpoint, peta langit, serta penggaris. Aku hanya menanyakan kepada setiap regu pengintai tentang data – data mengenai bulan baru. Maklum, dalam tim ini aku bertugas sebagai seorang analis yang memberikan laporan full time kepada teman – teman lain di pusat.
Sesekali aku memandang ke ujung langit senja mencoba mencari dengan mata telanjang, tentang keberadaan bulan yang tengah berkonjungsi dari bulan tua menjadi bulan baru. Menurut data hasil hisab, bulan akan bertengger di atas ufuk selama kurang lebih 11 menit 43 detik, dengan posisi 4 derajat 48 menit 26,18 detik di selatan matahari dengan intensitas cahaya hanya sekitar 0,31 persen. Aku pun mulai mengarahkan bola mataku ke koordinat hasil hisab tersebut.
Tiba – tiba, suara bernada gembira terdengar dari tim kami, bahwasanya 3 orang telah melihat hilal dengan teleskopnya masing – masing. Selagi mereka di sumpah dengan Al – Qur’an oleh pengadilan agama setempat, aku pun mulai mengirimkan data – data serta laporan hasil pengamatan ke tim pusat, dengan di akhir laporan ku selipi emoticon smile tanda kerja tim kami telah selesai dengan diliputi kegembiraan.
Pekerjaan kami selalu booming dan menjadi perhatian seluruh umat muslim di Indonesia hanya ketika sedang berada pada pergantian bulan Sya’ban ke Ramadhan, Ramadhan ke Syawal, hingga bulan Dzulhijjah. Di luar itu, kami hanyalah seseorang yang hobinya memandang langit, berburu seberkas cahaya yang ada di langit ketika bulan Qomariyah akan berganti.
Di tengah kelegaan yang menghiasi tim kami, aku pun mengambil udara segar di senja hari, dengan semilir angin pantai yang kian menggoda. Sembari memandang ke ujung langit yang kemerahan, di tempat di mana hilal berada, aku pun berujar “Andai Rasulullah SAW tidak melihatmu, aku pun tidak akan sudi melihatmu walau untuk kesenangan belaka, wahai seberkas cahaya di langit”.


















